oleh:
Zunnayana Fairuz
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
PENDAHULUAN
Penafsiran al-Quran nyatanya telah muncul sejak masa Rasulullah
saw. Beliaulah mufassir pertama yang memberi penjelasan kandungan al-Quran
kepada umat Islam saat itu. Penafsiran ini tentunya sangat berkaitan dengan
kebutuhan umat yang memiliki watak kebahasaan yang tinggi serta dzauq
as-salim yang masih murni sehingga mudah dalam memahami penafsiran tersebut.
Oleh sebab itu, Rasulullah pun hanya menafsirkan ayat-ayat yang sukar mereka
pahami saja.
Estafet kegiatan penafsiran Al-Quran terus berkembang hingga masa sekarang.
Perkembangan ini berjalan seiring dengan semakin kompleknya kebutuhan manusia
yang tak terbendung lagi. Oleh karena itu, pada abad ke-20 ini, muncullah
beragam corak penafsiran al-Quran dengan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan.
Sebagai hasil karya manusia keragaman ini diakibatkan oleh faktor-faktor
seperti perbedaan ilmu yang dikuasai, serta interest dan motivasi masing-masing
mufassir.
Salah satu corak penafsiran al-Quran itu adalah penafsiran ilmiah
atau yang dikenal dengan sebutan tafsir al-‘ilmi. Berbagai penemuan
ilmiah yang berhasil membuktikan kebenaran kandungan ayat-ayat al-Quran, kiranya
telah mendorong para cendikiawan atapun ilmuwan untuk melihat al-Quran dari sudut
pandang ilmu pengetahuan. Maka, dalam makalah sederhana ini kita akan melihat
bagaimana arus kemunculan dan perkembangan dari tafsir ‘ilmi ini serta
sikap para ulama terhadapnya.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tafsir Al-‘Ilmi
Corak dalam bahasa arab disebut اللون yang berarti صفة
الشيءويءته من البياض [1]والسواد
والحمرة وغير ذلك
(sifat dari suatu bentuk seperti putih, hitam, merah dan sebagainya.
Maka, corak dalam konteks ini dapat dipahami sebagai suatu sifat yang melekat
pada diri seorang mufassir.
Secara bahasa kata ‘ilmi merupakan bentuk masdar dari kata علِم
– يعلَم – علمًا yang berarti درى
/ أدرك / عرف[2] (mengetahui/memahami). Kata ‘ilmi ini merupakan bentuk
nisbah yang mendapat tambahan ي diakhir kata sehingga menjadi علميّ yang bermakna [3]متعلّق بعلم ما أو با لعلم (berhubungan
dengan suatu ilmu). Jadi, jika dirangkai dengan kata tafsir menjadi التّفسير
العلميّ
yang berarti tafsir ilmiah.
Adapun definisi tafsir bi al-‘ilmi secara istilah menurut
beberapa ulama di antaranya, yaitu:
1.
Husain
Adz-Dzahabi
التّفسير الّذي يحكم الإصطلاحات العلميّة فى عبارات القرأن
ويجتهد فى استخرج مختلف العلوم والأراء الفلسفيّة منها[4]
(tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan
al-Quran. Tafsir ‘ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung
al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat
falsafi)
2.
‘Abd
Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan sama terhadap tafsir bi al-‘ilmi,
yaitu:
التّفسير الّذي يتوحّى أصحابه إخضاع عبارات القرأن للنّظريات
والإصطلاحات العلميّة وبذلا لآقضى الجهد فى استخراج مختلف مسا ئل العلوم والأراء
الفلْسفيّة منها[5]
(tafsir yang
mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam al-Quran yaitu mengenai
beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan
dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang
bersifat falsafi)[6]
3.
Fahd
‘Abd Al-Rahman memberikan kesimpulan yang menurutnya jami’ maani’.
إجتهاد
المفسّر فى كشف الصلة بين أيات القرأن الكريم الكونية و مكتشفات العلم التجريبي
على وجه يظهر به إعجاز للقرأن يدلَ على مصدره و صلاحية لكل زمان والمكان
(tafsir ini adalah suatu ijtihad mufassirnya
untuk menangkap hubungan ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran dengan
penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan memperlihatkan kemu’jizatan al-Quran)[7]
4.
Yusuf
al-Qardhawi seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir Muhammad, tafsir bi
al-‘ilmi adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu
kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran untuk
menjelaskan sasaran dan makna al-Quran.[8]
5.
Said
Agil, tafsir ‘ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat
dalam al-Quran dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang
timbul pada masa sekarang.[9]
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita pahami bahwa
tafsir ‘ilmi adalah penafasiran al-Quran dengan pendekatan ilmu
pengetahuan. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran
yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah ayat-ayat yang
mengandung nilai-nilai ilmiah.
B.
Sejarah Tafsir Al-‘Ilmi
Menurut Quraish Shihab, corak penafsiran ilmiah ini telah lama
dikenal. Benihnya mulai tumbuh pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Makmun (w. 853 M) yang diakibatkan oleh adanya
kegiatan penerjemahan kitab-kitab ilmiah.[10] Al-Makmun
sendiri merupakan putra khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal sangat cinta
dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait
al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban yang
tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.[11]
Pada saat itu, Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat
penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para
penerjemah berkerja secara kelompok dan dikoordinir oleh seorang supervisor.
Kemudian, karya terjemahan ini diperiksa kembali keaslian dan kesesuaiannya
dengan buku-buku aslinya. Kegiatan penerjemahan ini menyebabkan lahirnya
tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang terkenal dalam berbagai disiplin keilmuwan,
seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi dan lainnya.[12]
Implikasi dari proses transmisi pemikiran Yunani ke dunia Islam tidak
hanya dalam hal pengetahuan umum, tetapi juga dalam hal pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, metode tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi
al-ra’yi memang berkembang pada masa
ini, terutama tafsir bi al-ra’yi yang sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.[13]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa selain karena dampak penerjemahan
kitab-kitab ilmiah, agaknya tokoh yang paling gigih mendukung ide penafsiran
ilmiah ini adalah Al-Ghazali (w. 1059-1111 M) yang secara panjang lebar
mengemukakan alasan-alasannya dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Jawahir
al-Quran.
Al-Ghazali mengatakan bahwa segala macam ilmu pengetahuan baik yang
terdahulu (masih ada atau telah punah) maupun yang kemudian (sudah diketahui
atau belum), semuanya bersumber dari al-Quran.
Hal ini karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al Allah dan
sifat-sifat-Nya. Sedangkan al-Quran terdapat isyarat-isyarat yang menyangkut
prinsip-prinsip pokoknya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian contoh, “apabila
aku sakit maka dialah yang mengobatiku” (QS 26: 80). Menurut al-Ghazali obat
dan penyakit tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang ahli dalam bidang
kedokteran. Dengan demikian, ayat ini merupakan isyarat tentang ilmu
kedokteran.[14]
C.
Sikap Para Ulama terhadap Tafsir Al-‘Ilmi
Dalam menyikapi keberadaan tafsir bi Al-‘Ilmi para ulama
mempunyai dua pandangan yang saling bertolak belakang. Ada ulama yang menerima
dan ada pula ulama yang menolaknya.
1.
Ulama
yang setuju adanya tafsir al-‘Ilmi
Al-Ghazali seperti dikutip oleh Badri Khaeruman, menyatakan bahwa seluruh
bidang ilmu itu tercakup dalam af’al Allah serta sifatnya. Al-Quran merupakan
syarah Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-Nya. Perkembangan
ilmu tiada akhirnya. Lagi pula, di dalam al-Quran terdapat isyarat keglobalan
ilmu pengetahuan, sperti kedokteran, astronomi, ilmu pasti, hewani, dan
sebagainya.[15]
Senada dengan Al-Ghazali, Jalaluddin Suyuthi juga mendukung corak
tafsir ini dengan mengajukan argumentasi al-Quran yaitu, surat al-An’am ayat 38
dan surat an-Nahlu ayat 89. Sedangkan argumentasinya dari hadits adalah:
·
Hadits
riwayat HR. Tirmidzi dan lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“akan terjadi fitnah”. Maka, dikatakan, “apakah jalan keluarnya?”, beliau
bersabda, “kitab Allah. Di dalamnya terdapat berita tentang pendahulu kalian
dan berita tentang kaum setelah kelian serta hukum di antara kalian”.[16]
·
Hadits
riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Mas’ud ra. Yang menyatakan bahwa Rasulullah
bersabda, “dalam al-Quran itu diturunkan setiap ilmu dan di dalamnya ada segala
sesuatu. Akan tetapi, ilmu kita terbatas tentang apa yang terkandung dalam
al-Quran itu”.[17]
Ahmad Syirbashi mengutip pernyataan Ar-Rifa’i mengenai tafsir al-‘ilmi
bahwa sekalipun al-Quran hanya berupa isyarat ilmiah yang sepintas, namun
kebenarannya selalu dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat
al-Quran senantiasa membuka diri bagi akal pikiran dan memberikan pengertian
yang benar mengenai apa saja. Kenyataan membuktikan bahwa semakin maju akal
pikiran manusia maka semakin banyak bidang ilmu pengetahuan yang dikuasai serta
tambahan pula dengan mendesaknya kebutuhan untuk menemukan berbagai hal yang
baru serta semakin sempurnanya peralatan yang diperlukan untuk mengadakan
penelitian; semua isyarat al-Quran semakin muncul kebenarannya.[18]
Selain ulama-ulama yang telah disebut di atas, ada juga ulama
lainnya yang memberikan lampu hijau terhadap penafsiran ‘ilmiah ini seperti,
Fakhruddin Ar-Razi, Al-Baidhawi, Muhammad Abduh, dan Thantowi Al-Jauhari.
2.
Ulama
yang tidak setuju adanya tafsir al-‘Ilmi
Sampai sekarang, corak tafsir ‘ilmi belum dapat diterima
oleh sebagian ulama. Mereka menilai penafsiran Al-Quran semacam ini keliru
karena Allah tidak menurunkan Al-Quran sebagai kitab yang membicarakan
teori-teori ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, kekeliruan ini dikarenakan para
penafsir ini dicap terlalu berlebihan dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Quran.
Seandainya kita menerapkan dan mencocokkan ayat al-Quran itu dengan fenomena
alam yang selalu berubah-ubah, berarti kita mengakui bahawa al-Quran itu
berubah-ubah.[19]
Ulama yang menentang secara
berlebihan adanya tafsir al-‘Ilmi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
Asy-Syathibi. Menurutnya penafsiran yang setelah dilakukan oleh ulama salaf
lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya dari pada penafsiran ilmiah.[20] Asy-Syatibi
seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab menyarankan agar orang yang ingin
memahami al-Quran harus membatasi diri hanya menggunakan ilmu–ilmu bantu yang
telah dikenal oleh masyarakat Arab pada masa Nuzul Al-Quran. Barang siapa yang
memahami al-Quran berdasarkan ilmu bantu selainnya, maka ia akan terjerumus
dalam kesesatan dan mengetasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang
tidak pernah dimaksudkannya.[21]
Di antara ulama yang juga menolak kehadiran tafsir ‘ilmi
adalah Abu al-Hayan Al-Andalusi, Muhammad rasyid Ridha, Mahmud Syaltut,
Musthafa AL-Maraghi, M. Izzah Ad-Darwizah, Syauqi Dhaif dan Amin Al-Khulli.[22]
D.
Contoh Tafsir Al-‘Ilmi
·
Surat
al-‘Alaq ayat 1-2
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
Ar-Razi menjelaskan dalam tafsir Mafatih al-Ghaib-nya bahwa
ayat pertama ini maknanya masih mubham (samar-samar). Sehingga dijelaskan oleh
ayat berikutnya, yakni pengagungan tentang penciptaan manusia dan indikasi
keajaiban fitrahnya. Kata ‘alaq iu sendiri berbentuk jamak karena
mengikuti kata insan (jamak).[23]
·
Surat
al-Nur ayat 24, al-Zumar ayat 39 dan al-Nazi’at: 31
tPöqt ßpkô¶s? öNÍkön=tã öNßgçFt^Å¡ø9r& öNÍkÏ÷r&ur Nßgè=ã_ör&ur $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇËÍÈ
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-Nur: 24)
ö@è% ÉQöqs)»t (#qè=yJôã$# 4n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù cqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ
Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,
Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. (al-Zumar: 39)
Menurut
al-Qasimi seperti yang telah dikutip oleh Mufakhar Muhammad, kedua ayat di atas
memiliki pengertian bahwa air tawar yang kita minum dan kita siram ke tanah
adalah sama, baik yang berasal dari mata air atau dari air sungai semuanya
berasal dari air hujan yang pada mulanyanya berasal dari awan. Sementara awan sendiri
berasal dari bumi, firman Allah swt.:
ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ
Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan)
tumbuh-tumbuhannya. (al-Nazi’at:
31)[24]
·
Surat
al-Baqarah ayat 29
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Badri Khaeruman
menguraikan penafsiran Thanthawi al-Jauhari dalam kitabnya Al-Jawahir bahwa
pada mulanya alam ini hanya terdiri dari matahari, bulan-bulan, dan
bintang-bintang yang asalnya merupakan asap raksasa yang melayang di angkasa. Lalu,
asap tersebut berputar, bergerak, dan saling bergesekan antara satu sama
lainnya membentuk gumpalan api raksasa yang beredar selama jutaan tahun.
Kemudian api tersebut pun terpecah menjadi planet-planet yang tak terlepas,
karena da magnet api yang mempunyai daya tarik tersendiri terhadap
planet-planet itu yang pada akhirnya , planet-planet itu bergerak mengitari
pusat api (matahari).[25]
E.
Perkembangan Tafsir Al-‘Ilmi pada Masa sekarang
Belakangan, pada abad ke-20 perkembangan tafsir al-‘ilmi
semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai kalangan. Banyak orang yang
mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Quran melalui pendekatan ilmu pengetahuan
modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat al-Quran dalam ranah
keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan
keunikan al-Quran.[26]
Meluasnya minat terhadap corak tafsir al-‘ilmi dikarenakan
umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya.
Umat Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan
yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam
pun bangkit dan mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari
kesesuainnya dalam al-Quran.[27]
Al-Quran memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi
interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Quran
biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur, bahkan situasi politik
yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan
dalam diri seorang mufassir untuk memahami al-Quran sesuai dengan disiplin ilmu
yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu teks al-Quran, namun
hasil penafsirannya akan berbeda satu
sama lain.
Jadi, corak dan keberagaman penafsiran al-Quran menunjukkan
kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Quran. Namun, kita
harus memiliki sikap yang kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut.
Apakah ada penyimpangan dan hidden interest di balik penafsirannya.
Apakah penafsirannya disertai dengan argument yang kuat ? jika ya, maka kita
harus menghormatinya, meskipun kita tidak mengikutinya.[28]
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
·
Tafsir
al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin
Al-Razi)
·
Al-Jawahir
fi Tafsir al-Quran al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
·
Al-Tafsir
al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an (Hanafi
Ahmad)
·
Tafsir
al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah
Syahatah)
·
Al-Isyarat
Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim (Muhammad
Syawqi Al-Fajri)
·
Al-Qur’an
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ahmad Bayquni)
·
Kompendium:
Himpunan Ayat-ayat Al-Quran yang Berkaitan dengan Biologi dan Kedokteran
(Mukhtar Na’im)[29]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa berpikir secara kontemporer tidak
berarti menafsirkan al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan
baru. Kita dapat menggunakan pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil
percobaan dan pengalaman ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul
dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Quran tanpa
mempercayai hipotesis atau pantangan.[30]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan
asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak memaksa diri secara
berlebihan untuk menangkap makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan
arti-arti ayat harus sesuai dengan ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan
pengambilan arti zhahirnya selama tidak dilarang oleh akal dan naqal dan harus
tetap berada pada lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh
lafaz dan ayat tanpa melakukan pengurangan atau penambahan.[31]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tafsir al-‘ilmi merupakan penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan
menggunakan pendekatan ilmiah ataupun menggali kandungan al-Quran berdasarkan
teori-teori ilmiah. Meskipun, tafsir bercorak ilmiah ini masih menimbulkan pro
dan kontra oleh sebagian ulama, namun corak ini semakin berkembang luas dan
disukai oleh berbagai kalangan.
Ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari uraian di
atas, yaitu:
v
Al-Quran
merupakan kitab petunjuk bagi umat manusia agar ia senantiasa berjalan pada
koridor aqidah, akhlak serta syariah yang benar sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh Allah swt.
v
Al-Quran
dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan bukan terletak pada kandungan berbagai
teori-teori ilmiah, melainkan terletak pada isyarat atau dorongan yang
memerintahkan umat manusia untuk mengembangkan akal pikirannya demi mencapai
suatu kemajuan.
v
Tidak
menyalahkan atau membenarkan teori-teori
ilmiah berdasarkan al-Quran, karena akan bertentangan dengan sifat a-Quran
v
Tafsir
corak ilmiah ini dapat diterima selama pemahamannya tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku.
v
Penyebab
meluasnya penafsiran ilmiah ini dikarenakan umat Islam ingin mencari hubungan
antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan dan kekhawatiran akan timbulnya
perselisihan antara agama dan ilmu pengetahuan seperti kejadian traumatis yang
pernah di alami Barat.
Akhir kata
sampai di sinilah pembahasan kami. Kami menyadari bahwa Uraian mengenai tafsir ‘ilmi
ini sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat
kami harapkan. Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan pencerahan bagi
kita untuk bersama-masa membentuk iklim perubahan ke arah kemajuan perkembangan
tafsir al-Quran pada masa selanjutnya. Wallahu ‘alam bissawab.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al-Hayy
Al-Farmawi. 1994. Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan
A. Jamrah. Jakarta: PT RajaGraffindo Persada.
‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi. 1982. Ittijahat
al-Tafsir fi ‘Ashr Al-Rahn. t.t.p.: t.p.
A.
Mufakhir Muhammad. 2004. Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan PeNA.
Abdul
Mustaqim. 2008. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ahmad
Asy-Syirbashi. 1996. Sejarah Tafsir Qur’an. terj. Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pusataka Firdaus.
Badri
Khaeruman. 2004. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran. Bandung: Pustaka
Setia.
Badri
Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman Al-Rumi. 1997. Ittijahat
al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi’ ‘Asyar. Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah.
Fakhru
Ar-Razhi. 1981. Mafatih al-Ghaib. t.t.p.: Dar al-Fikri.
Husain
Adz-Dzahabi. 2000. Tafsir wa al-Mufassirun Juz 2. Maktabah Wahbah:
Al-Qahirah.
Imam
Jalaluddin Suyuthi. 2009. Studi Al-Qur’an
Komprehensif: Al-Itqan fii’ Ulum Al-Quran
Jilid II. terj. Tim Editor Indiva. Surakarta: Indiva Pustaka.
Juhaya
S. Praja. 2000. Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia.
Bandung: PT Rosdakarya.
Louis
Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i. 2003. al-Munjid al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah. Beirut: Dar
al-Masyriq.
Louis
Ma’qif. 2007. al-Munjid fi al-Lughah
al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq.
M.
Amin Suma. 2001. Studi Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus.
M.
Quraish Shihab. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Said
Agil Husin Al-Munawar. 2002. Membangun Tradisi kesalihan Hakiki. Jakarta:
Ciputat Press.
[1] Louis Ma’qif, al-Munjid fi al-Lughah al-A’lam,
(Beirut: Dar al-Masyriq, 2007) h. 740
[2] Louis Ma’luf
al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i, al-Munjid
al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2003) h.
749
[3] Louis Ma’luf
al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i, al-Munjid…, h. 750
[4] Husain
Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun Juz 2, (Maktabah Wahbah:
Al-Qahirah, 2000) h. 349
[5] ‘Abd Al-Majid
‘Abd As-Salam Al-Mahrasi, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Ashr Al-Rahn, (t.t.p.:
t.p., 1982) h. 247
[6] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka
Setia, 2004) h. 109-108
[7] Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat
al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi’ ‘Asyar, (Mamlakah al-‘Arabiyyah
al-Su’udiyyah,1997) h.
549
[8] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004) h. 3-4
[9] Said Agil
Husin Al-Munawar, Membangun Tradisi kesalihan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002) h.72
[10] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994) h. 101
[11] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 53
[12] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi..., h. 5-6
[13] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam..., h. 56
[14] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 101
[15] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h. 111
[16] Imam
Jalaluddin Suyuthi, Studi Al-Qur’an
Komprehensif: Al-Itqan fii’ Ulum Al-Quran Jilid II, terj. Tim Editor Indiva,
(Surakarta: Indiva Pustaka, 2009) h. 691
[17] Juhaya S.
Praja, Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia,
(Bandung: PT Rosdakarya: 2000) h. 18-19
[18] Ahmad
Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta:
Pusataka Firdaus, 1996) h. 127-129
[19] ‘Abd Al-Hayy
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A.
Jamrah, (Jakarta: PT RajaGraffindo Persada, 1994) h. 23
[20] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h.113
[21] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 102
[22] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h.114-115
[23] Fakhru
Ar-Razhi, Mafatih al-Ghaib, (t.t.p.: Dar al-Fikri, 1981) H. 15-16
[24] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi..., h. 48-49
[25] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h. 112
[26] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi..., h. 81
[27] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 53-54
[28] Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008) h. 59-60
[29] M. Amin Suma, Studi
Ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
[30] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 57
[31] ‘Abd Al-Hayy
Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy…, h. 27
Hi There
BalasHapusIt's an interesting article. Can you just share out this article(to be copied..?)
Ghaz
Hi There
BalasHapusIt's an interesting article. Can you just share out this article(to be copied..?)
Ghaz