Tafsir Corak Al-'Ilmi


oleh:
Zunnayana Fairuz
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
Dosen Pembimbing: Ummul Aiman, MA



PENDAHULUAN

Penafsiran al-Quran nyatanya telah muncul sejak masa Rasulullah saw. Beliaulah mufassir pertama yang memberi penjelasan kandungan al-Quran kepada umat Islam saat itu. Penafsiran ini tentunya sangat berkaitan dengan kebutuhan umat yang memiliki watak kebahasaan yang tinggi serta dzauq as-salim yang masih murni sehingga mudah dalam memahami penafsiran tersebut. Oleh sebab itu, Rasulullah pun hanya menafsirkan ayat-ayat yang sukar mereka pahami saja.
Estafet kegiatan penafsiran Al-Quran terus berkembang hingga masa sekarang. Perkembangan ini berjalan seiring dengan semakin kompleknya kebutuhan manusia yang tak terbendung lagi. Oleh karena itu, pada abad ke-20 ini, muncullah beragam corak penafsiran al-Quran dengan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan. Sebagai hasil karya manusia keragaman ini diakibatkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan ilmu yang dikuasai, serta  interest dan motivasi masing-masing mufassir.
Salah satu corak penafsiran al-Quran itu adalah penafsiran ilmiah atau yang dikenal dengan sebutan tafsir al-‘ilmi. Berbagai penemuan ilmiah yang berhasil membuktikan kebenaran kandungan ayat-ayat al-Quran, kiranya telah mendorong para cendikiawan atapun ilmuwan untuk melihat al-Quran dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Maka, dalam makalah sederhana ini kita akan melihat bagaimana arus kemunculan dan perkembangan dari tafsir ‘ilmi ini serta sikap para ulama terhadapnya.

PEMBAHASAN

A.                     Definisi Tafsir Al-‘Ilmi
Corak dalam bahasa arab disebut اللون yang berarti صفة الشيءويءته من البياض [1]والسواد والحمرة وغير ذلك (sifat dari suatu bentuk seperti putih, hitam, merah dan sebagainya. Maka, corak dalam konteks ini dapat dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seorang mufassir.
Secara bahasa kata ‘ilmi merupakan bentuk masdar dari kata علِم – يعلَم – علمًا yang berarti درى / أدرك / عرف[2] (mengetahui/memahami). Kata ‘ilmi ini merupakan bentuk nisbah yang mendapat tambahan ي diakhir kata sehingga menjadi علميّ yang bermakna [3]متعلّق بعلم ما أو با لعلم (berhubungan dengan suatu ilmu). Jadi, jika dirangkai dengan kata tafsir menjadi التّفسير العلميّ yang berarti tafsir ilmiah.
Adapun definisi tafsir bi al-‘ilmi secara istilah menurut beberapa ulama di antaranya, yaitu:

1.                       Husain Adz-Dzahabi
التّفسير الّذي يحكم الإصطلاحات العلميّة فى عبارات القرأن ويجتهد فى استخرج مختلف العلوم والأراء الفلسفيّة منها[4]
(tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Quran. Tafsir ‘ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi)

2.                       ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan  sama terhadap tafsir bi al-‘ilmi, yaitu:
التّفسير الّذي يتوحّى أصحابه إخضاع عبارات القرأن للنّظريات والإصطلاحات العلميّة وبذلا لآقضى الجهد فى استخراج مختلف مسا ئل العلوم والأراء الفلْسفيّة منها[5]
(tafsir yang mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam al-Quran yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi)[6]

3.                       Fahd ‘Abd Al-Rahman memberikan kesimpulan yang menurutnya jami’ maani’.
إجتهاد المفسّر فى كشف الصلة بين أيات القرأن الكريم الكونية و مكتشفات العلم التجريبي على وجه يظهر به إعجاز للقرأن يدلَ على مصدره  و صلاحية لكل زمان والمكان
(tafsir ini adalah suatu ijtihad mufassirnya untuk menangkap hubungan ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan memperlihatkan kemu’jizatan al-Quran)[7]

4.                       Yusuf al-Qardhawi seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir Muhammad, tafsir bi al-‘ilmi adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran untuk menjelaskan sasaran dan makna al-Quran.[8]

5.                       Said Agil, tafsir ‘ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Quran dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang.[9]

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat kita pahami bahwa tafsir ‘ilmi adalah penafasiran al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ‘ilmi ini adalah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai ilmiah.

B.                     Sejarah Tafsir Al-‘Ilmi
Menurut Quraish Shihab, corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya mulai tumbuh pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (w. 853 M) yang diakibatkan oleh adanya kegiatan penerjemahan kitab-kitab ilmiah.[10] Al-Makmun sendiri merupakan putra khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal sangat cinta dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.[11]
Pada saat itu, Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah berkerja secara kelompok dan dikoordinir oleh seorang supervisor. Kemudian, karya terjemahan ini diperiksa kembali keaslian dan kesesuaiannya dengan buku-buku aslinya. Kegiatan penerjemahan ini menyebabkan lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang terkenal dalam berbagai disiplin keilmuwan, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi dan lainnya.[12]
Implikasi dari proses transmisi pemikiran Yunani ke dunia Islam tidak hanya dalam hal pengetahuan umum, tetapi juga dalam hal pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, metode tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi memang berkembang pada  masa ini, terutama tafsir bi al-ra’yi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.[13]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa selain karena dampak penerjemahan kitab-kitab ilmiah, agaknya tokoh yang paling gigih mendukung ide penafsiran ilmiah ini adalah Al-Ghazali (w. 1059-1111 M) yang secara panjang lebar mengemukakan alasan-alasannya dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Jawahir al-Quran.
Al-Ghazali mengatakan bahwa segala macam ilmu pengetahuan baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah) maupun yang kemudian (sudah diketahui atau belum), semuanya bersumber dari al-Quran.  Hal ini karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan al-Quran terdapat isyarat-isyarat yang menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian contoh, “apabila aku sakit maka dialah yang mengobatiku” (QS 26: 80). Menurut al-Ghazali obat dan penyakit tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang ahli dalam bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat ini merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.[14]

C.                     Sikap Para Ulama terhadap Tafsir Al-‘Ilmi
Dalam menyikapi keberadaan tafsir bi Al-‘Ilmi para ulama mempunyai dua pandangan yang saling bertolak belakang. Ada ulama yang menerima dan ada pula ulama yang menolaknya.

1.           Ulama yang setuju adanya tafsir al-‘Ilmi
Al-Ghazali seperti dikutip oleh Badri Khaeruman, menyatakan bahwa seluruh bidang ilmu itu tercakup dalam af’al Allah serta sifatnya. Al-Quran merupakan syarah Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-Nya. Perkembangan ilmu tiada akhirnya. Lagi pula, di dalam al-Quran terdapat isyarat keglobalan ilmu pengetahuan, sperti kedokteran, astronomi, ilmu pasti, hewani, dan sebagainya.[15]
Senada dengan Al-Ghazali, Jalaluddin Suyuthi juga mendukung corak tafsir ini dengan mengajukan argumentasi al-Quran yaitu, surat al-An’am ayat 38 dan surat an-Nahlu ayat 89. Sedangkan argumentasinya dari hadits adalah:
·                         Hadits riwayat HR. Tirmidzi dan lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “akan terjadi fitnah”. Maka, dikatakan, “apakah jalan keluarnya?”, beliau bersabda, “kitab Allah. Di dalamnya terdapat berita tentang pendahulu kalian dan berita tentang kaum setelah kelian serta hukum di antara kalian”.[16]
·                         Hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Mas’ud ra. Yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “dalam al-Quran itu diturunkan setiap ilmu dan di dalamnya ada segala sesuatu. Akan tetapi, ilmu kita terbatas tentang apa yang terkandung dalam al-Quran itu”.[17]
Ahmad Syirbashi mengutip pernyataan Ar-Rifa’i mengenai tafsir al-‘ilmi bahwa sekalipun al-Quran hanya berupa isyarat ilmiah yang sepintas, namun kebenarannya selalu dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat al-Quran senantiasa membuka diri bagi akal pikiran dan memberikan pengertian yang benar mengenai apa saja. Kenyataan membuktikan bahwa semakin maju akal pikiran manusia maka semakin banyak bidang ilmu pengetahuan yang dikuasai serta tambahan pula dengan mendesaknya kebutuhan untuk menemukan berbagai hal yang baru serta semakin sempurnanya peralatan yang diperlukan untuk mengadakan penelitian; semua isyarat al-Quran semakin muncul kebenarannya.[18]
Selain ulama-ulama yang telah disebut di atas, ada juga ulama lainnya yang memberikan lampu hijau terhadap penafsiran ‘ilmiah ini seperti, Fakhruddin Ar-Razi, Al-Baidhawi, Muhammad Abduh, dan Thantowi Al-Jauhari.

2.           Ulama yang tidak setuju adanya tafsir al-‘Ilmi
Sampai sekarang, corak tafsir ‘ilmi belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Mereka menilai penafsiran Al-Quran semacam ini keliru karena Allah tidak menurunkan Al-Quran sebagai kitab yang membicarakan teori-teori ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, kekeliruan ini dikarenakan para penafsir ini dicap terlalu berlebihan dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Quran. Seandainya kita menerapkan dan mencocokkan ayat al-Quran itu dengan fenomena alam yang selalu berubah-ubah, berarti kita mengakui bahawa al-Quran itu berubah-ubah.[19]
Ulama yang menentang  secara berlebihan adanya tafsir al-‘Ilmi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi. Menurutnya penafsiran yang setelah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya dari pada penafsiran ilmiah.[20] Asy-Syatibi seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab menyarankan agar orang yang ingin memahami al-Quran harus membatasi diri hanya menggunakan ilmu–ilmu bantu yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada masa Nuzul Al-Quran. Barang siapa yang memahami al-Quran berdasarkan ilmu bantu selainnya, maka ia akan terjerumus dalam kesesatan dan mengetasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya.[21]
Di antara ulama yang juga menolak kehadiran tafsir ‘ilmi adalah Abu al-Hayan Al-Andalusi, Muhammad rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, Musthafa AL-Maraghi, M. Izzah Ad-Darwizah, Syauqi Dhaif dan Amin Al-Khulli.[22]

D.                     Contoh Tafsir Al-‘Ilmi

·                Surat al-‘Alaq ayat 1-2
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ    
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Ar-Razi menjelaskan dalam tafsir Mafatih al-Ghaib-nya bahwa ayat pertama ini maknanya masih mubham (samar-samar). Sehingga dijelaskan oleh ayat berikutnya, yakni pengagungan tentang penciptaan manusia dan indikasi keajaiban fitrahnya. Kata ‘alaq iu sendiri berbentuk jamak karena mengikuti kata insan (jamak).[23]
·                Surat al-Nur ayat 24, al-Zumar ayat 39 dan al-Nazi’at: 31
tPöqtƒ ßpkôs? öNÍköŽn=tã öNßgçFt^Å¡ø9r& öNÍkÏ÷ƒr&ur Nßgè=ã_ör&ur $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇËÍÈ    
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-Nur: 24)
ö@è% ÉQöqs)»tƒ (#qè=yJôã$# 4n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù šcqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ  
Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. (al-Zumar: 39)
Menurut al-Qasimi seperti yang telah dikutip oleh Mufakhar Muhammad, kedua ayat di atas memiliki pengertian bahwa air tawar yang kita minum dan kita siram ke tanah adalah sama, baik yang berasal dari mata air atau dari air sungai semuanya berasal dari air hujan yang pada mulanyanya berasal dari awan. Sementara awan sendiri berasal dari bumi, firman Allah swt.:
ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ  
Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. (al-Nazi’at: 31)[24]
·                Surat  al-Baqarah ayat 29
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Badri Khaeruman menguraikan penafsiran Thanthawi al-Jauhari dalam kitabnya Al-Jawahir bahwa pada mulanya alam ini hanya terdiri dari matahari, bulan-bulan, dan bintang-bintang yang asalnya merupakan asap raksasa yang melayang di angkasa. Lalu, asap tersebut berputar, bergerak, dan saling bergesekan antara satu sama lainnya membentuk gumpalan api raksasa yang beredar selama jutaan tahun. Kemudian api tersebut pun terpecah menjadi planet-planet yang tak terlepas, karena da magnet api yang mempunyai daya tarik tersendiri terhadap planet-planet itu yang pada akhirnya , planet-planet itu bergerak mengitari pusat api (matahari).[25]     

E.                     Perkembangan Tafsir Al-‘Ilmi  pada Masa sekarang
Belakangan, pada abad ke-20 perkembangan tafsir al-‘ilmi semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Quran melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat al-Quran dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan al-Quran.[26]
Meluasnya minat terhadap corak tafsir al-‘ilmi dikarenakan umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Quran.[27]
Al-Quran memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Quran biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufassir untuk memahami al-Quran sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu teks al-Quran, namun hasil penafsirannya  akan berbeda satu sama lain.
Jadi, corak dan keberagaman penafsiran al-Quran menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Quran. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden interest di balik penafsirannya. Apakah penafsirannya disertai dengan argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita tidak mengikutinya.[28]
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
·                Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
·                Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
·                Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an (Hanafi Ahmad)
·                Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
·                Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim (Muhammad Syawqi Al-Fajri)
·                Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ahmad Bayquni)
·                Kompendium: Himpunan Ayat-ayat Al-Quran yang Berkaitan dengan Biologi dan Kedokteran (Mukhtar Na’im)[29]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Quran tanpa mempercayai hipotesis atau pantangan.[30]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai dengan ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya selama tidak dilarang oleh akal dan naqal dan harus tetap berada pada lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat tanpa melakukan pengurangan atau penambahan.[31]

PENUTUP

A.                     Kesimpulan
Tafsir al-‘ilmi merupakan penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan ilmiah ataupun menggali kandungan al-Quran berdasarkan teori-teori ilmiah. Meskipun, tafsir bercorak ilmiah ini masih menimbulkan pro dan kontra oleh sebagian ulama, namun corak ini semakin berkembang luas dan disukai oleh berbagai kalangan.
Ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari uraian di atas, yaitu:
v     Al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi umat manusia agar ia senantiasa berjalan pada koridor aqidah, akhlak serta syariah yang benar sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
v     Al-Quran dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan bukan terletak pada kandungan berbagai teori-teori ilmiah, melainkan terletak pada isyarat atau dorongan yang memerintahkan umat manusia untuk mengembangkan akal pikirannya demi mencapai suatu kemajuan.
v     Tidak menyalahkan atau  membenarkan teori-teori ilmiah berdasarkan al-Quran, karena akan bertentangan dengan sifat a-Quran
v     Tafsir corak ilmiah ini dapat diterima selama pemahamannya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku.
v     Penyebab meluasnya penafsiran ilmiah ini dikarenakan umat Islam ingin mencari hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan dan kekhawatiran akan timbulnya perselisihan antara agama dan ilmu pengetahuan seperti kejadian traumatis yang pernah di alami Barat.
Akhir kata sampai di sinilah pembahasan kami. Kami menyadari bahwa Uraian mengenai tafsir ‘ilmi ini sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan pencerahan bagi kita untuk bersama-masa membentuk iklim perubahan ke arah kemajuan perkembangan tafsir al-Quran pada masa selanjutnya. Wallahu ‘alam bissawab.


DAFTAR PUSTAKA

‘Abd Al-Hayy Al-Farmawi. 1994. Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT RajaGraffindo Persada.
 ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi. 1982. Ittijahat al-Tafsir fi ‘Ashr Al-Rahn. t.t.p.: t.p.
A. Mufakhir Muhammad. 2004. Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan PeNA.
Abdul Mustaqim. 2008. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Asy-Syirbashi. 1996. Sejarah Tafsir Qur’an. terj. Pustaka Firdaus. Jakarta: Pusataka Firdaus.
Badri Khaeruman. 2004. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Badri Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman Al-Rumi. 1997. Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi’ ‘AsyarMamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah.
Fakhru Ar-Razhi. 1981. Mafatih al-Ghaib. t.t.p.: Dar al-Fikri.
Husain Adz-Dzahabi. 2000. Tafsir wa al-Mufassirun Juz 2. Maktabah Wahbah: Al-Qahirah.
Imam Jalaluddin Suyuthi. 2009. Studi Al-Qur’an Komprehensif: Al-Itqan fii’ Ulum Al-Quran  Jilid II. terj. Tim Editor Indiva. Surakarta: Indiva Pustaka.
Juhaya S. Praja. 2000. Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia. Bandung: PT Rosdakarya.
Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i. 2003. al-Munjid al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah. Beirut: Dar al-Masyriq.
Louis Ma’qif. 2007. al-Munjid fi al-Lughah al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq.
M. Amin Suma. 2001. Studi Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus.
M. Quraish Shihab. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Said Agil Husin Al-Munawar. 2002. Membangun Tradisi kesalihan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.



[1] Louis Ma’qif, al-Munjid fi al-Lughah al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2007) h. 740
[2] Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i, al-Munjid al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2003) h. 749
[3] Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i, al-Munjid…, h. 750
[4] Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun Juz 2, (Maktabah Wahbah: Al-Qahirah, 2000) h. 349
[5] ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi, Ittijahat al-Tafsir fi ‘Ashr Al-Rahn, (t.t.p.: t.p., 1982) h. 247
[6] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) h. 109-108
[7] Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi’ ‘Asyar, (Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah,1997)  h. 549
[8] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004) h. 3-4
[9] Said Agil Husin Al-Munawar, Membangun Tradisi kesalihan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) h.72
[10] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994) h. 101
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 53
[12] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi..., h. 5-6
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam..., h. 56
[14] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 101
[15] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h. 111
[16] Imam Jalaluddin Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif: Al-Itqan fii’ Ulum Al-Quran  Jilid II, terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2009) h. 691
[17] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah: Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia, (Bandung: PT Rosdakarya: 2000) h. 18-19
[18] Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 1996) h. 127-129
[19] ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT RajaGraffindo Persada, 1994) h. 23
[20] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h.113
[21] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 102
[22] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h.114-115
[23] Fakhru Ar-Razhi, Mafatih al-Ghaib, (t.t.p.: Dar al-Fikri, 1981) H. 15-16
[24] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi...,  h. 48-49
[25] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir…, h. 112
[26] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi..., h. 81
[27] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 53-54
[28] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 59-60
[29] M. Amin Suma, Studi Ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
[30] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 57
[31] ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy…, h. 27

2 komentar:

  1. Hi There
    It's an interesting article. Can you just share out this article(to be copied..?)

    Ghaz

    BalasHapus
  2. Hi There
    It's an interesting article. Can you just share out this article(to be copied..?)

    Ghaz

    BalasHapus

Salam readers.....ini adalah blog sederhanaku. Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa berikan komentarmu untuk postinganku ya, karena apa yang aku tulis disini tidak ada yang sempurna, masih banyak kekurangnnya^^