ILMU DHABTI AL-QUR’AN DAN
SEJARAH PERKEMBANGANNYA
oleh:
Zunnayana Fairuz
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. melalui perantara malaikat Jibril
as., dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nash.
Ditulis dalam mushaf-mushaf yang sampai kepada kita secara mutawatir serta mempelajarinya merupakan ibadah. Ini
adalah definisi yang telah disepakati para ulama dan ahli Ushul.[1]
Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, terdiri dari 114
surat dan 6236 ayat.[2]
Al-Quran telah mengalami tiga masa, yakni penulisan, pengumpulan,
dan pembukuaan. sebagai bukti bahwa Allah swt. akan terus menjaganya hingga
akhir zaman. Dimulai dari masa Rasulullah saw. di mana banyak para sahabat yang
menjadi pencatat wahyu di antaranya, empat orang sahabat yang menjadi khulafaurrasyidin
(Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib),
Muawiyah bin Abi Sofyan, Zaid bin Tsabit, Khalid bin al-Walid, Ubay bin Ka’ab
dan Tsabit bin Qais. Setiap kali wahyu turun, beliau selalu menyuruh mereka
untuk mencatatnya, sehingga al-Quran yang terhimpun di dalam dada dapat diikat
dengan tulisan. Adapun ayat-ayat al-Quran tersebut ditulis berserakan pada
pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang. Hal ini
dikarenakan pada saat itu alat tulis menulis masih sangat sulit dijumpai.
Semasa hidup rasulullah al-Quran sudah sempurna ditulis semuanya.[3]
Selanjutnya pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, beliau menjadi orang
pertama yang mengumpulkan al-Quran.Pengumpulan ini dilatarbelakangi oleh usulan
Umar bin Khattab yang merasa sangat khawatir
al-Quran akan lenyap dengan banyaknya huffazh al-Quran yang
syahid ketika perang Yamamah. Awalnya Abu Bakar menolak usulan ini karena takut
menyalahi sunnah Rasulullah saw dan akan terjerumus pada bid’ah. Maka,
Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk melakukan perbuatan mulia ini. Beliau
pun segera menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran, mengingat
kecerdasannya dalam hafalan, bacaan, dan penulisan. Pada mulanya, Zaid bin
Tsabit juga menolak perintah ini. Namun, Allah pun melapangkan dadanya. Langah
yang ditempuh oleh Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan Al-Quran sangat tepat dan
teliti. dalam penyelidikannya ia berpedoman pada sumber hafalan para sahabat
dan tulisan yang ditulis semasa hidup rasulullah. Karena kehati-hatiannya, ia
tidak menerima tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa
tulisan itu ditulisan dihadapan rasulullah. Al-Quran berhasil dikumpulkan dalam
waktu satu tahun dan diberi nama al-Mushaf.[4]
Setelah Abu Bakar meninggal, mushaf tersebut disimpan oleh Umar bin
Khattab sampai beliau wafat. Sesudah Umar bin Khattab wafat maka, mushaf Abu
Bakar itu pun disimpan di rumah anaknya, Hafsah. Kemudian, Utsman bin Affan
terpilih menjadi khalifah ketiga umat Islam. Pada masa inilah al-Quran berhasil
dibukukan untuk pertama kalinya. Hal ini dikarenakan banyaknya terjadi
perbedaan qiraat antar umat Islam, bahkan perbedaan ini sudah saling
mengkafirkan. Atas Laporan Huzaifah bin Yaman yang melihat fenomena ini, beliau
segera mengirim utusan untuk meminjam mushaf Abu Bakar pada Hafsah. Setelah itu
beliau menyusun panitia yang diketuai oleh Zaid Ibn Tsabit dan beranggotakan Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibn al-Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam
untuk menyalin kembali mushaf Abu Bakar dan memperbanyaknya. Al-Quran pun berhasil disalin dan dibukukan dalam
satu mushaf yang diberi nama Mushaf Utsmani.[5]
Ternyata, tulisan al-Quran sejak masa Rasulullah hingga Utsman
bersih dari titik dan baris. Sehingga pada masa selanjutnya ulama pun menyususn
suatu ilmu yang dikenal dengan sebutan dhabtil al-Quran sebagai petunjuk dalam
penulisan titik dan baris huruf dalam al-Quran. Maka, pada makalah ini kita
akan melihat sejarah dan perkembangan Ilmu dhabti al-Quran serta kegunaannya dalam
memberikan rambu-rambu bagi umat manusia agar terhindar dari kesalah baca
al-Quran.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu Dhabtil Al-Quran
Ilmu Dhabti al-Quran adalah ilmu yang membicarakan tentang
pemberian tanda baca huruf-huruf al-Quran, bagaimana bentuknya, di mana
tanda-tanda itu harus diletakkan. Tanda-tanda tersebut terdiri dari baris
huruf, seperti baris atas, baris bawah, baris depan, baris mati, tanda tasydid,
tanda mad, dan lainnya.[6]
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa al-Quran yang telah
ditulis pada masa Usman bin Affan tidak bertitik dan tidak pula berbaris,
sehingga orang-orang pun mengalami kesulitan dalam membaca mushaf ini. Oleh
karena itu tujuan dari hadirnya ilmu dhabti al-Quran adalah:
1.
Untuk
menjaga bunyi huruf al-Quran supaya tetap dibaca seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah kepada para sahabatnya.
2.
Untuk
menyelamatkan umat manusia dari kesalahan dalam membaca al-Quran.
3.
Untuk
menghilangkan kesamaran bacaan antar satu huruf dengan huruf lainnya yang
serupa bentuk, baik huruf hidup maupun huruf mati.[7]
B.
Sejarah Perkembangan lmu Dhabti Al-Quran
Pada masa Umayyah bin abu Sofyan daerah kekuasaan Islam sudah
meluas ke berbagai daerah. Orang-orang non Arab pun semakin banyak yang masuk
Islam. Mereka banyak berbaur dengan orang-orang Arab asli. Namun, akibat dari
pembauran ini bahasa Arab menjadi rusak karena pengaruh bahasa lain. Fenomena
kerusakan bahasa Arab ini, dikhawatirkan akan berpengaruhi pada bacaan
al-Quran. Melihat hal ini, Ziyad, seorang gubernur Basrah pada saat itu, segera
mendatangi Abu Aswad Al-Duali untuk memintanya menyusun dasar-dasar suatu ilmu yang bisa memperbaiki kerusakan bahasa
dan meng-’irab-kan kitabullah.
Abu Aswad langsung menolak permintaan Ziyad. Tetapi, Zayid tidak
putus asa, beliau pun menyuruh seorang laki-laki duduk dijalan yang sering
dilewati oleh Abu Aswad. Ia berkata pada laki-laki itu, jika nanti dia melihat
Abu Aswad melewati jalannya, maka sengajalah membaca al-Quran dengan salah.
Maka, pada saat Abu Aswad berjalan, laki-laki tadi langsung membaca awal surah
al-Taubah ayat tiga yang berbunyi,
إن الله برئ من المشركين ورسولهُ dengan
bacaan yang salah. kata ورسولُهُ dibaca ورسولِه. Maka, tersentaklah Abu Aswad. Beliau pun langsung menghadap
gubernur Ziyad dan menyatakan kesediaanya untuk memenuhi usulan Ziyad yaitu
menyusun dasar-dasar ilmu i’rab al-Quran. Untuk menjalankan tugasnya,
Abu Aswad meminta Ziyad untuk mencari seseorang yang dapat menjadi teman
sekaligus asistennya. 30 orang ulama terkenal didatangkan untuk diuji
kemampuannya oleh Abu Aswad. Dan akhirnya, terpilihlah ‘Abd ibn Al-Qas. [8]
C.
Peletakan Tanda Baca Titik Baris
Setelah ‘Abd ibn al-Qas terpilih, Abu Aswad langsung membuat
kesepakatan dengannya. Abu Aswad menyiapkan sebuah, pena, dan tinta yang
berwarna. Beliau akan membaca al-Quran dan menyuruh ‘Abd ibn Al-Qas untuk
memperhatikan bibirnya, yaitu:
1.
Jika
bibir beliau terangkat ke atas, maka berilah satu titik di atas huruf. Titik ini
dinamakan baris fathah. Bentuknya adalah
2.
Jika
bibir beliau terangkat ke atas, maka berilah satu titik di bawah huruf. Titik ini dinamakan
baris kasrah. Bentuknya adalah
3.
Jika
kedua bibir beliau terhimpun (membulat), maka berilah satu titik di depan
huruf. Titik ini dinamakan baris dhammah . Bentuknya adalah
4.
Jika
kedua bibir beliau tertutup, maka jangan diberi titik apapun. Titik ini
dinamakan baris sukun.
5.
Jika
beliau membaca al-Quran dengan bunyi ghunnah, maka tambahkan satu titik di atas
titik huruf yang sudah ada. Jadilah huruf itu bertitik dua. Titik yang di bawah
adalah titik huruf dan titik yang di atas adalah titik tambahan yang
melambangkan bunyi nun mati yang tidak tertulis atau disebut tanwin.[9] Bentuknya
adalah
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa Abu Aswad al-Duali dan
temannya, ‘Abd ibn al-Qas telah membuat titik baris huruf pada al-Quran, yang
dikenal dengan sebutan nuqthah al-i‘rab. Titik baris yang mereka susun
ada empat yaitu, fathah, karsah, dhammah, dan tanwin. Pemberian titik baris ini
hanya khusus pada huruf di akhir kosa kata dalam mushaf.
D.
Peletakan Tanda Baca Titik Huruf
Pada masa ‘Abdul Malik bin Marwan disusunlah nuqthah al-i‘jam yaitu
titik pembeda huruf yang serupa bentuk tulisannya dalam mushaf. Latar belakang
Pemberian titik pembeda ini dikarenakan banyaknya umat Islam melakukan
kesalaahn saat membaca al-Quran yang diakibatkan oleh adanya huruf-huruf di
dalam al-Quran yang serupa bentuknya. ‘Abdul Malik bin Marwan memandang perlu
memelihara al-Quran, maka beliau pun meemrintahkan al-Hajjaj memilih dua ulama
terkenal yang mumpuni ilmunya untuk melaksanakan perintah tersebut yaitu Yahya
bin Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim. Keduanya adalah orang yang pertama sekali
meletakkan titik pembeda huruf yang
serupa bentuk (nuqthah al-i‘jam) dan mereka adalah muridnya Abu Aswad
al-Duali.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin
Ya’mur dalam membedakan huruf-huruf yang serupa bentuk adalah:
1.
Huruf
Ba
Untuk huruf ba diberi satu titik tepat dibawah gigi huruf ba ( ﺑ ). Huruf ba perlu diberi titik karena huruf ba serupa
bentuk nya dengan huruf-huruf lain yang
bentuk giginya menghadap ke atas. ( ﺑ ﺗ
ﺛ ﻳ ﻧ ). Peletakan
titik huruf ba di bawah berkaitan dengan gerak bibir yang turun ke bawah saat
menyebut huruf bad an sesuai dengan fungsi huruf ba untuk membaris bawahkan
kalimat sesudahnya.
2.
Huruf
Nun
Untuk huruf nun diberi satu titik tepat di atas gigi huruf nun ( ﻧ ) agar tidak
serupa bentuknya dengan huruf ba. Letak titik huruf nun harus tepat di atas
giginya baik ketika terletak di awal maupun di tengah ( ﻨ
ﻨ ). Adapun ketika huruf nun ditulis terpisah,
maka titik tersebut diletakkan ditenga-tengah sebagai perkiraan gigi ketika
ditulis berambung.
3.
Huruf
Ta
Untuk huruf ta diberi dua titik tepat di atas gigi huruf ta ( ﺗ ) karena huruf ba dan nun sudah diberi satu titik dan bunyi ke
atas. Letak titik huruf ta harus tepat di atas giginya baik ketika terletak di
awal maupun di tengah ( ﺘ ﺗ ).
4.
Huruf
Ya
Untuk huruf ya diberi dua titik tepat di bawah giginya ( ﻳ )
agar tidak serupa dengan huruf ta yang telah diberi dua titik di atas giginya.
Letak titik huruf ya harus tepat di atas giginya baik ketika terletak di awal
maupun di tengah ( ﻳ ﻴ ).
5.
Huruf
Tsa
Untuk huruf tsa diberi tiga titik tepat di atas gigi huruf tsa ( ﺜ ) supaya
tidak esrupa dengan huruf sebelumnya yang sudah diberi satu titik dan dua titik
contohnya, ( ﺑ ﺗ
ﺛ ﻳ ﻧ ). Dengan
demikian kelima huruf-huruf yang serupa bentuknya dalam al-Quran, yaitu huruf ba,
nun, tsa, ya, dan ta sudah dapat dibedakan.
6.
Huruf
Jim, Ha, dan Kha
Huruf jim, ha dan kha memiliki bentuk yang serupa baik ketika
letaknya di awal,di tengah, maupun di akhir (ﺠ ﺤ ﺨ ﺝﺡﺥ
ﺠ ﺤ ﺨ). Sehingga perlu diberi titik pembeda
padanya. Untuk huruf jim diberi satu titik di bawahnya ( ﺝ ) karena ketika
menyebut huruf jim bibir dan bunyinya bergerak ke bawah. Untuk huruf ha tidak
diberi titik ( ﺡ ) agar berbeda dengan huruf jim yang sudah diberi satu titik di
atasnya. Sedangkan untuk huruf kha diberi satu titik di atasnya ( ﺥ ).
7.
Huruf
Dal dan Dzal
Huruf dal dan dzal memiliki bentuk yang serupa baik ketika letaknya
di awal,di tengah, maupun di akhir ( ﺩ ﺩ ). Untuk huruf dal tidak diberi titik
karena huruf kha sebelumnya telah diberi titik. Sedangkan untuk huruf dzal
diberi satu titik di atas ( ﺫ ) karena bunyi hurufnya ke atas. Huruf dal
dibiarkan tidak bertitik juga supaya tidak serupa dengan huruf dzal.
8.
Huruf
Ra dan Zay
Huruf ra dan zay memiliki bentuk yang serupa baik ketika letaknya
di awal,di tengah, maupun di akhir ( ﺭ ﺭ ). Untuk huruf zay diberi satu
titik di atasnya ( ﺯ ) dan dibiarkan huruf zay tidak
bertitik ( ﺭ ) supaya tidak serupa dengan huruf zay.
9.
Huruf
Sin dan Syin
Huruf sin dan syin bergigi tiga tegak ke atas dan memiliki bentuk
yang serupa baik ketika letaknya di awal,di tengah, maupun di akhir ( ﺴ
ﺷ ﺲ ﺶ ). Sehingga perlu diberi titik pembeda padanya.
Untuk huruf syin diberi tiga titik di atas ( ﺶ ) karena huruf
syin serupa bentuk nya dengan huruf-huruf
lain yang bentuk giginya menghadap ke atas. Sedangkan huruf sin
dibiarkan tidak bertitik ( ﺲ ) karena huruf zay ( ﺯ
) sebelum huruf sin sudah diberi titik.
10.
Huruf
Shad dan Dhad
Huruf shad dan dhad memiliki bentuk yang serupa baik ketika
letaknya di awal,di tengah, maupun di akhir ( ﺹ ﺽ ﺻ ﺿ
). Sehingga perlu diberi titik pembeda padanya. Untuk huruf dhad
diberi satu titik di atas ( ﺽ ) karena bunyi hurufnya ke atas.
Sedangkan huruf shad dibiarkan tidak bertitik ( ﺹ ) karena huruf
syin sebelumnya sudah diberi titik.
11.
Huruf
Tha dan Zha
Huruf thad dan zha memiliki bentuk yang serupa baik ketika letaknya
di awal,di tengah, maupun di akhir ( ﻅ ﻄ ). Sehingga perlu diberi titik
pembeda padanya. Untuk huruf zha diberi satu titik di atas (ﻅ
). Sedangkan huruf tha dibiarkan tidak bertitik ( ﻄ
) karena huruf Dhad ( ﺽ ) sebelumnya
sudah diberi titik.
12.
Huruf
Fa dan Qaf
Huruf fa dan qaf memiliki bentuk yang serupa baik ketika letaknya
di awal maupun di tengah ( ﻔ ﻗ ﻔ ﻘ ). Sehingga
perlu diberi titik pembeda padanya. Kedua huruf ini diberi titik di atas karena
bunyi hurufnya terangkat ke atas. Untuk huruf fa diberi satu titik di atas ( ﻒ
). Sedangkan huruf qaf diber dua titik di atas ( ﻕ
) supaya tidak serupa dengan huruf fa.
13.
Huruf
Kaf, Lam, Mim, Waw, dan Ha
Baik huruf kaf ( ﻚ ﻛ ), lam ( ﻝ ﻠ ), dan mim ( ﻡ
ﻣ ),
tidak beri titik karena tidak ada huruf yang serupa bentuknya dengan mereka
baik ketika letaknya di awal, di tengah, maupun di akhir. Untuk huruf waw ( ﻭ
), meskipun bentuknya agak mirip seperti huruf qaf, namun bentuk
hurufnya tidak sepenuhnya sama, sehingga huruf waw juga dibiarkan tidak
bertitik. Begitu juga dengan huruf ha yang bentuknya tidak ada yang serupa
dengannya sehingga huruf ha juga tidak diberi titik. Huruf ha memiliki dua
bentuk, yaitu jika terletak di awal dan di tengah, maka bentuknya terbelah atau
bulat tengah ( ﻫ ﻬ ), sedangkan jika terletak di akhir, maka bentuknya
bundar ( ﻪ ).[10]
E.
Perombakan dan Penemuan tanda Baca Baru
Pada masa Pemerintahan ‘Abbasiah (132- 656 H / 749 -1200 M), umat
Islam mengalami kesulitan dalam membedakan titik huruf dan titik baris dalam
mushaf al-Quran. Maka, bangkitlah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi menyelidiki
permasalahan ini. Ternyata titik baris yang berwarna yang telah diletakkan oleh
Abu Aswad Al-Duali telah bercampur dengan titik huruf yang juga sudah
dibubuhkan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mur. Kemudian al-Farahidi pun
mendapat petunjuk dari Allah untuk mengganti titik baris Abu Aswad serta
memberikan tanda baca yang baru. Maka, langkah-langkah yang ditempuh
al-Farahidi dalam perombakan dan penemuan tanda baca baru adalah:
1.
Tanda Baca Harakat
Al-Farahidi mengganti titik baris Abu Aswad dengan tanda baris yang
baru yang diambil dari huruf mad. untuk tanda baris atas di ambil dari
huruf alif, baris depan di ambil dari huruf waw dan baris bawah diambil
dari huruf ya. Selain melakukan perombakan, beliau juga menambahkan
tanda baca harakat yang baru. Berikut bentuk-bentuk tanda harakat tersebut,
yakni:
·
Tanda
titik satu di atas ( — )
diganti dengan alif kecil yang dilentangkan di atas huruf ( ﹷ ). Baris ini di
sebut baris fatah. Contohnya
·
Tanda
titik satu di depan ( — )
diganti dengan waw kecil yang diletakkan di atas huruf ( ﹹ ). Baris ini di
sebut baris dhammah. Contohnya
·
Tanda
titik satu di atas ( — )
diganti dengan kepala huruf ya yang dilentakkan di bawah huruf ( ﹻ ). Baris ini di
sebut baris kasrah. Contohnya
·
Membuat
Tanda sukun ( — )
yang diambil dari kepala huruf kha ( ﺣ) yang tidak bertitik yang berasal dari kata khafif
(ringan) karena lidah orang Arab ketika menyebutkan huruf sukun itu ringan.
·
Membuat
Tanda Baca Hamzah ( ﺀ )
diambil dari kepala huruf ‘ain ( ﻉ ) karena hamzah
dan ‘ain berdekatan makhraj-nya.
2.
Tanda Baca Tasydid
Tasydid adalah bunyi bacaan idgham yang tandanya diambil dari
kepala huruf syin tidak bertitik ( ﺴ ) yang berasal dari kata syadid (keras)
karena bunyi bacaannya keras ketika diucapkan. Huruf ber-tasydid adalah dua huruf
berbunyi ganda yang ditulis dengan satu huruf. Huruf pertama bunyinya mati,
huruf kedua bunyinya hidup, kemudian huruf yang mati di-idgham-kan
kepada huruf yang hidup. Contohnya yang ditulis menjadi . Di atas huruf
yang bertasydid hanya boleh diletakkan baris fatah, kasrah, dan dhammah. Selain
dari itu seperti tanda mad tidak diperbolehkan. Contohnya,
3.
Tanda Baca Tanwin
Tanwin adalah bunyi
nun mati yang terletak di akhir kosa kata dan tidak tercantum dalam tulisan.
Ini berarti jika bunyi nun mati itu tercantum dalam tulisan, maka ia disebut
huruf nun bukan lagi tanwin. Lambang yang menunjukkan tanda tanwin, yaitu:
·
Apabila
tanwin berjumpa dengan huruf al-halq atau izhar
maka tanda tanwin diletakkan di atas tanda baris huruf yang sudah ada
dan disusun sejajar ( — — ). Sedangkan tanwin di depan dijadikan dua tanda waw kecil
yang saling berhadapan ( — ).
·
Apabila
tanwin berjumpa dengan selain huruf al-halq atau izhar maka
baris dua di atas dan dibawah disusun beriring ( —
— ). Sedangkan tanwin di depan dijadikan dua tanda waw kecil yang
saling beriring ( — ).
·
Apabila
tanwin berjumpa dengan huruf idgham naqish (bi ghunnah)
yang dua yaitu ﻱ ﻭ,
maka baris dua di atas dan dibawah disusun beriring ( — — ). Sedangkan
tanwin di depan dijadikan dua tanda waw kecil yang saling beriring
( — ).
4.
Tanda Baca Nun Sukun
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan huruf halqi
yang enam, maka huruf nun diberi tanda sukun. Misalnya, عَمِلَ مَنْ
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan selain huruf halqi,
maka huruf nun tidak diberi tanda sukun. Misalnya, مِنكُمْ
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan huruf ikhfa yang
15, maka huruf nun tidak diberi
tanda sukun. Misalnya,
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan huruf iqlab, yaitu
huruf ba maka huruf nun tidak diberi tanda sukun. Bunyi huruf nun
dibalikkan menjadi bunyi huruf mim. Dan diberi tanda huruf mim
kecil di atas huruf nun. Misalnya,
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan huruf idgham
kamil (bila ghunnah) yang empat yaitu ﺮ ﻦ ﻢ ﻞ, maka huruf nun tidak diberi tanda sukun. Huruf idgham
kamil diberi tanda tasydid padanya, لّ مّ نّ رّ. Misalnya,
·
Jika
nun mati atau nun sukun berjumpa dengan huruf idgham naqish
(bi ghunnah) yang dua yaitu ﻱ ﻭ, maka huruf nun tidak diberi
tanda sukun. Begitu juga dengan huruf idgham naqish tidak diberi tanda
tasydid padanya. Karena pada huruf-huruf tersebut masih terdapat sifat ghunnah.
[11]
Contohnnya,
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan beberapa poin penting
yaitu:
·
Tulisan
Al-Quran sejak masa Rasulullah hingga Utsman tidak bertitik dan berbaris. Oleh
karena itu pada masa selanjutnya ketika kawasan Islam meluas banyak umat Islam
yang salah dalam membaca al-Quran.
·
Untuk
menghindari kesalahan dalam membaca al-Quran, maka bangunlah ulama menyusun
kaidah-kaidah dasar suatu ilmu dalam memberitanda baca al-Quran
·
Pada
Masa Dinasti Bani Umayyah, tepatnya saat Muawiyah menjadi Khalifah titik baris
huruf dalam al-Quran atau nuqthah al-‘irab berhasil disusun oleh bahwa
Abu Aswad al-Duali dan temannya, ‘Abd ibn al-Qas. Selajutnya di bawah
pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan disusunlah nuqthah al-i‘jam yaitu
titik pembeda huruf yang serupa bentuk tulisannya dalam al-Quran oleh Yahya bin
Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim. Mereka adalah muridnya Abu Aswad al-Duali.
·
Pada
Masa Dinasti Bani Abbasiyah, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi melakukan
perombakan terhadap titik baris Abu Aswad karena pada saat itu sudah bercampur
dengan titik huruf Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim. Beliau menggantinya
dengan tanda baca yang baru yang berasal dari huruf mad. Beliau juga
menciptakan tanda baca baru lainnya seperti tanwin, tasydid.
·
Sumber
pegangan ilmu dalam menulis dan mentashih Al-Quran adalah kaidah-kaidah apa
saja yang telah disusun oleh Abu Aswad Al-Duali, Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin
‘Ashim serta al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-Shabuni.
1998. Studi Ilmu al-Quran. terj. Aminuddin. Bandung: Pustaka Setia.
Hisyami bin
Yazid. 2009. Hakikat Ilmu Rasm dan Ilmu Dhabti Al-Quran. Bandung: Iris
Press.
Hisyami bin
Yazid. 2012. Risalat fi ‘Ilmi Dhabti Al-Quran li Hal Al-Musykilah Al-Haditsah
ma fi Rasm Al-Mushafi Al-‘Utsmani. Banda Aceh: Ar-Rijal Publisher.
Manna’
Khalil al-Qatthan. 2007. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj. Mudzakkir AS.
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Subhi
Salih. 2004. Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1] Ali
Ash-Shabuni, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998)
[2] Hisyami bin
Yazid, Hakikat Ilmu Rasm dan Ilmu Dhabti Al-Quran, (Bandung: Iris Press,
2009) h. 1
[3] Subhi Salih,
Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004)
[4] Ali
Ash-Shabuni, Studi Ilmu al-Quran,…h. 100-104
[5] Manna’ Khalil
al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakkir AS. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007) h. 192-196
[6]
Hisyami bin
Yazid, Hakikat Ilmu Rasm dan Ilmu Dhabti Al-Quran,.. h. 132
[7]
Hisyami bin
Yazid, Hakikat Ilmu Rasm dan Ilmu Dhabti Al-Quran,… h. 131
[8]
Hisyami bin Yazid, Risalat fi ‘Ilmi Dhabti Al-Quran li Hal Al-Musykilah
Al-Haditsah ma fi Rasm Al-Mushafi Al-‘Utsmani, (Banda Aceh: Ar-Rijal
Publisher, 2012) h. 35-37
[9]
Hisyami
bin Yazid, Risalat fi ‘Ilmi Dhabti Al-Quran …, h. 38-39
[10]
Hisyami bin
Yazid, Hakikat Ilmu Rasm dan Ilmu Dhabti Al-Quran,.. h. 140-151
[11] Hisyami
bin Yazid, Risalat fi ‘Ilmi Dhabti Al-Quran …, h. 48-55
dimana saya bisa mendapatkan buku karya Hisyami bin Yazid?
BalasHapusMasya Allah, jazaakallohu khoiran atas ilmunya.sangat bermanfaat untuk saya yg baru belajar.
BalasHapusmasya allah....ilmu yang sangat berguna
BalasHapusjazakillahu khayran katsiiran wa Barakallahu 'alaykum...
Semoga Allah senantiasa melimpahkan Berkah serta rahmat-Nya untuk anda yang telah menulis artikel ini......Aamin