PLURALISME AGAMA DAN ISLAMOFOBIA
oleh:
Zunnayana Fairus
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
A.
Pendahuluan
Saat ini kita sedang hidup di zaman modern yang segalanya serba instan,
serba mudah. Perkembangan permikiran yang semakin pesat telah menembus batas
wilayah negara. Salah satu pemikiran yang sekarang didengung-dengungkan adalah
pluralisme. Di tengah maraknya perselisihan agama dan berbagai bentuk teror
muncul pluralisme yang berusaha tampil memberi solusi untuk meredam pertikaian
ini. Selanjutnya muncul pula isu Islamophobia yang mendekriminasikan posisi
Islam terutama setelah peristiwa 9/11. Lalu bagaimana sebenarnya sikap-sikap
umat Islam ketika dihadapkan dengan isu-isu seperti ini? Kita akan bahas pada
point selanjutnya.
B.
Pluralisme
Indonesia dikenal
sebagai negara yang sangat majemuk. Wajar saja, hal ini dikarenakan
masyarakatnya sendiri terdiri dari berbagai latar belakang yang ada. Perbedaan
itu mencakup perbedaan suku, bahasa, adat-istiadat, serta agama. Perbedaan ini
jika tidak disikapi dengan toleransi sesama, maka wilayah kita akan menjadi
lahan subur yang mudah sekali menyulut pertikaian. Faktanya sekarang pun
terjadi. Agama menjadi hal yang sangat sering diperselisihkan dan sangat
sensitif untuk dibicarakan. Karena itulah sebagian pemikir Islam mencoba terjun
untuk menyelesaikan masalah ini dengan membawa pemikiran baru yang dikenal
dengan pluralisme agama. Kemunculan paham ini pun menimbulkan berbagai reaksi
pro dan kontra di kalangan para intelektual dan masyarakat.
Sebenarnya istilah
‘pluralisme agama’ sendiri masih mengalami kekaburan makna, meskipun terminologi
ini sudah sangat popular di dunia dan semakin menjamurnya kajian internasional,
khususnya setelah Konsili Vatikan II. Karena pengaruhnya yang semakin luaslah
maka istilah ini membutuhkan definisi yang jelas dan tegas baik secara tektual
maupun kontekstual.
Secara bahasa,
pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu pkluralisme dan agama. Dalam
bahasa arab diterjemahkan al-Ta’addudiyyah
al-Diniyyah sedang dalam bahasa Inggris yaitu Religious Pluralism. Pluraslism
berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jama’ atau lebih dari satu. Dalam
kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian, yaitu pengertian kegerejaan,
pengertian filosofis, dan pengertian sosio-politis. Ketiganya bisa
disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau
keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan
kakarteristik masing-masing. Jadi, pluralisme jika dirangkai dengan agama, maka
dapat dikatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar agama (dalam artian yang luas) yang berbeda-beda dalam
satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama.
Namun di era modern ini,
dimana pluralisme agama dari segi konteksnya sering digunakan dalam studi-studi
dan wacana-wacana sosio-ilmiah dan telah menemukan definisi dirinya yang sangat
berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary
defenition). John Hick misalnya, menegaskan bahwa sejatinya semua agama
adalah manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu, dengan demikian semua
agama sama dan tidak ada yang lebih baik.[1]
Keunikan dalam fenomena
baru ini adalah pemikiran persamaan agama (religious
equality) ini tidak hanya memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence),tetapi juga
memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), hingga akhirnya melahirkan
suatu kehidupan antar umat beragama yang harmonis, saling menghargai (mutual
respect) atau apapun yang diimpikan oleh kaum pluralis sebagai pluralisme
agama.[2]
Dalam menghadapi paham
pluralisme ini, sikap para pemikir kita ada yang menerima dengan suka cita
namun, ada juga yang malah menolaknya. Bagaimanakah pemikiran mereka? Kami akan
coba menjelaskan secara singkat.
·
Menurut Aloys Budi Purnomo,
kita hidup dalam pluralisme agama. Suka atau tidak, realitas pluralistic memang menjadi wahana dan
wacana bagi kehidupan keberagamaan kita. Satu tantangan terpenting dari
kehidupan pluralisme agama untuk saling mengenal satu terhadap yang lain adalah
mengembangkan religious literacy
yaitu sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai dalam agama lain.
Singkatnya religious literacy dalah
sikap ‘melek agama lain’. Dengan sikap ini, orang bisa sungguh saling mengenal,
menghormati dalam persaudaraan sejati antar umat beragama. Ia juga menerangkan
bahwa sekarang ia yang seorang Katolik menjadi melek agama Islam, sehingga
lebih jernih memandang dan memahami agama Islam sebagai penyerahan dan pasrah
diri kepada Allah dalam ketulusan dan kesungguhan. Dengan demikian, ia menjadi
semakin katolik dalam perjumpaan dengan saudara-saudara muslim yang semakin
islam. Pada tatarana ini, menurutnya kita pun bisa sama-sama beriman kepada
Allah Yang Esa dalam keunikan masing-masing yang saling memperkaya.[3]
·
Pendapat yang lain juga
disampaikan oleh tokoh pengusung Islam Pluralis, Budhy Munawar-Rachman. Ia
menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat hanya dipahami sebagai keanekaragaman
suku dan agama, juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good) untuk menyingkirkan
fanatisme, tetapi harus dipahami sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan keadaban’ (genuine engagement of
diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya dan dalam kitab suci disebutkan
bahwa Allah lah yang menciptakan mekanisme pengawasan dan keseimbangan.[4]
Pada dasarnya menurut Al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran Universal yang
Tunggal itu adalah paham ketuhanan yang Maha Esa atau tauhid. Tugas para Rasul
pun menyampaikan ajaran ini dan selanjutnya mengajari manusia agar hanya taat
dan patuh kepada-Nya saja. Berdasarkan paham ketauhidan inilah, al-Qur’an mengajarkan
paham kemajemukan keagamaan (religious
plurality) yang pada dewasa ini menjadi tema penting dalam studi-studi
agama serta pembicaraan mengenai teologi-teologi agama.
Dalam pendangan teologi
Islam, sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada seluruh agama
yang ada bahwa semua agama itu pada awalnya menganut prinsip yang sama dan
karena alasan inilah al-Qur’an mengajak pada titik pertemuan (kalimatun as-suwa’) [Qs. al-Anbiya: 92].
Implikasi dari kalimatun as-suwa
menurut al-Qur’an adalah siapa pun dapat memperoleh ‘keselamatan’ asalkan ia
beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat baik. Tiga pertanda orang-orang
yang selamat ini telah digambarkan oleh al-Qur’an dengan dua ayat yang persis sama
[al-Baqarah: 62 dan al-Maidah; 69]. Pandangan normatif ini jelas akan mendorong
umat Islam untuk menghargai kemajemukan keagamaan lewat sikap-sikap toleransi,
keterbukaan, fairness serta medorong
umat Islam untuk mengembangkan konsep teologi agama-agama.[5]
Bersebrangan dengan
pendapat di atas, mereka yang menolak pluralisme seperti Adian Husaini
berpendapat bahwa pluralisme ialah ‘virus yang harus dijinakkan’. Beragamnya
definisi pluralisme hingga saat ini adalah fakta yang tidak dapat dielakkan.
Oleh karenanya MUI yang pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa haram bagi
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, membatasi makna pluralisme agama pada
satu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama
yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama
akan masuk dan hidup berdampingan di surga.[6]
Dalam menghadapi
doktrin pluralisme agama yang merujuk pada surat Al-Baqarah ayat 62 dan ayat 69
surah al-Maidah, Syamsuddin Arif pun menjelaskan melalui tafsir al-Quran bi
al-Qur’an. Pertanyaan pertama terkait ayat-ayat pluralisme ialah ungkapan siapa
yang beriman diantara mereka? Jawabannya dapat kita temukan dalam surat
al-Baqarah: 285, Ali Imran: 171-3, an-Nisa: 162, al-‘Araf: 157, al-Anfal:2-4
dan 74, at-Taubah: 13, al-Mu’minun: 2-9, an-Nur: 62, al-Hujurat: 15, dan
al-Hadid: 19.
Kedua apakah ahli kitab
Yahudi dan Nasrani juga beriman? Menurut al-Qur’an mayoritas mereka tidak
beriman dikarenakan mereka mendustakan Nabi Muhammad, menolak al-Qur’an dan
enggan masuk Islam. Itulah mengapa Allah menegur mereka, lihat dalam surah
al-Baqarah 89-93, an-Nisa’ 47, serta an-Nisa’ 171. Namun tidak semua Ahlu Kitab
itu kafir. Ada sebagian kecil di antara mereka yang beriman kepada Rasulullah
saw. dan memeluk Islam (Ali Imran: 110-115 dan 199, juga al-‘Ankabut: 47)
Ketiga, apa yang
dimaksud dengan amal shaleh dalam ungkapan “siapa yang berbuat baik ?”
dijelaskan antara lain bahwa amal saleh adalah hidup berpadukan ajaran kitab
suci dan mendirikan shalat (al-‘Araf:168). Amal baik di sini berkaitan dengan
pengamalan rukun-rukun Islam serta penghayatan dan realisasi rukun-rukun iman.
Terakhir, bagaimana
memahami ungkapan “mereka tidak perlu takut dan tidak perlu cemas?” Dalam
al-Qur’an, ungkapan seperti ini terdapat
lebih dari sekali, dengan berbagai qarinah. Yaitu mereka yang apabila datang
petunjuk Allah mengikutinya (al-Baqarah: 38), mereka yang berislam dan berihsan
(al-Baqarah: 112), para kekasih Allah yang beriman lagi bertakwa (Yunus:
62-63), dan mereka yang bertauhid dan beristiqamah (al-Ahqaf: 13). Ayat-ayat
ini menunjukkan bahwa untuk bisa memperoleh jaminan keselamatan di dunia dan akhirat
seseorang harus berislam, beriman, bertaqwa, dan beristiqamah.[7]
Menurut Syamsuddin Arif
lagi, Pluralisme memang bertolak dari keinginan mencari titik temu antar
agama-agama yang berbeda dan mereka tidak gebyah-uyah
menyamakan semua agama. Sebab, seandainya semua agama sama, maka pluralitas
tidak ada. Kaum pluralis tidak hanya mengakui eksistensi berbagai agama, lebih
dari itu mereka menilai semua agama benar, walaupun porsinya berbeda.[8]
C.
Islamophobia
Dewasa ini Islam masih saja dikenal sebagai agama yang lebih banyak
menebar kerusakan dari pada kebaikan. Label sebagai agama terosis sekaligus
perusak seakan sudah menjadi ‘santapan’ sehari-hari yang sangat menjengkelkan
untuk ‘dinikmati’. Setimen terhadap Islam pun muncul dalam wujud Islamophobia.
Islamofobia merupakan istilah yang merujuk pada suatu ketakutan atau
sikap anti terhadap Islam.
Dengan kata lain, islamofobia
berarti ketakutan terhadap Islam sehingga menimbulkan sikap anti terhadap
Islam. Menurut Dr. Abduljalil Sajid, Chairman Muslim Council for Religious
and Racial Harmony UK, istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1991
dan didefinisikan oleh Runnymede Trust pada tahun 1997 dalam laporannya yang
bertajuk “Islamophobia is a challenge to us all”. Istilah ini semakin
populer setelah peristiwa konspirasi 11 September 2001.[9]
Islamofobia juga bisa dikatakan sebagai sikap takut yang berlebihan terhadap
Islam tanpa didasari dengan pemahaman yang kuat tentang Islam. Bahkan terkesan
mengada-ada.
Sebenarnya perasaan
anti-Islam telah timbul semenjak terjadinya Crusade
(Perang Salib) antara umat Islam dan umat Kristen dimana Barat harus
menerima pukulan berat akibat kekalahan mereka dari pasukan Islam. Bagi Barat
Perang Salib memilki dua sisi memori kolektif yang paradoks. Pada satu sisi,
ketika itu Barat berhasil bersatu padu melupakan perbedaan antar mereka dalam
menghadapi Islam. Namun, di sisi lain Perang Salib juga merupakan kenangan
pahit bagi mereka, karena pada akhirnya Barat pun harus bertekuk lutut di bawah
pasukan Islam yang dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi setelah mengerahkan segala kekuatan mereka dan
berhasil menduduki Jerusslaem selama sekitar 88 tahun (1099-1187). Memori
kolektif inilah yang masih terus dikenang Barat.
Aspek-aspek
traumatis historis kalangan masyarakat Kristen Barat terhadap Islam itulah yang
kemudian dieksploitasi dengan baik dan cerdik oleh ilmuwan neo-konservatif seperti
Huntington dan Bernard Lewis (ungkapan Bernard Lewis: for almost a thousand years…Europe was under constant threat from Islam),
untuk melegitimasi kepentingan politik negar-negara Barat khususnya AS.
Sebutlah Crusade. Pengaruh Perang
Salib di abad 21 masih bisa disimak saat persiden George W. Bush menggelorakan
Perang Salib melawan terorisme pasca peristiwa 11 September 2001, bahwa
semangat Crusade kini diperlukan
untuk menggalang kekuatan Barat. Berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan
runtuhnya Uni Soviet, telah mengubah peta dunia. Barat, dengan serangkaian
ideologinya tidak
lagi legitimate untuk eksis. Semangat Crusade dibutuhkan, menurut
Huntington, untuk self-definition dan membangun motivasi, manusia perlu
rival dan musuh.[10]
Dampak yang
ditimbulkan dari Islamofobia sangat mudah dirasakan khususnya umat Islam yang
mendiami benua Amerika dan Eropa. Mereka tidak dapat leluasa menjalankan
ibadahnya sebagaimana saudara-saudara muslim yang tinggal di negara Islam.
Berbagai alasa pun muncul untuk menyudutkan umat muslim, seperti pelarangan
memakai jilbab atau burqa bagi wanita muslim di Perancis pada tahun 2004 dengan
dalih melanggar undang-undang penggunaan simbol agama di tempat-tempat umum.
Mereka juga dipersulit untuk membangun mesjid atau musholla. Di Denmark
munculnya berbagai karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad, film Innocent
of Moslem yang baru-baru ini hangat di bicarakan oleh dunia juga berbentuk
penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan masih banyak lagi. Duta Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei
Julian Wilson menjelaskan, studi yang dirilis EU Fundamental Rights Agency pada
Mei 2009 menunjukkan, satu dari setiap tiga responden Muslim mengalami
diskriminasi dan 11 persen mengalami kejahatan rasial.
Pesatnya
perkembangan Islamophobia ternyata juga diikuti dengan tak kalah pesatnya
perkembangan Islam di negara-negara Eropa dan Amerika. Populasi Muslim di dunia Barat,
terutama Eropa sebagai negara yang pertumbuhan jumlah penduduk Muslimnya sangat
cepat. Kini benua itu menjadi rumah bagi 38 juta Muslim, atau lima persen dari seluruh
populasi. Di Benua Amerika, sebanyak 4,6 juta Muslim tinggal di sana dan hampir
separuh dari jumlah itu ada di Amerika Serikat. Sedang di Kanada jumlah
Muslimnya mencapai 700 ribu jiwa, atau 2 persen dari seluruh populasi.[11]
Selain itu
peristiwa runtuhnya WTC 9/11 yang sempat mengubah peta kehidupan sosial, di
saat yang sama telah menumbuhkan minat tajam para umat Katholik dan Kristen
untuk mengenal dan memahami Islam lebih jauh. Hal ini dibenarkan oleh imam
besar mesjid al-Hikmah New York, Syamsi Ali yang berkata bahwa peristiwa 9/11
memang merubah segala hal, namun, blessing
in disguise lah yang umumnya terjadi. Sikap umat muslim yang sebelumnya
tertutup pun kini terbuka dan siap menerima dan mejawab berbagai pertanyaan
mengenai Islam.[12]
D.
Kesimpulan
Setelah melihat
penjelasan singkat mengenai pluralisme, maka kami pun berkesimpulan bahwa
sebenarnya Islam itu tidak pernah mengenal yang namanya ‘pluralisme agama’,
Islam hanya mengenal adanya pluralitas agama dengan mengakui eksistensi
keberagaman agama-agama dunia yang merupakan sunnatullah yang tak dapat
dihindari umat manusia. Lakum diinukum wa
al-yadiin [QS. al-Kaafirun: 6]
Kehadiran pluralisme
seolah ingin menjadi wasit untuk meredam berbagai sikap intoleransi sesama
pemeluk agama. Padahal toleransi beragama bukan berarti membenarkan sisi aqidah
agama lain, karena setiap agama pasti memilki ke-eksklusifan-nya tersendiri
yang akan menampilkan ciri khas dan jati diri dari masing-masing agama.
Jika pun kita ingin
membangun sikap mutual respect, kita
dapat memulainya dari diri sendiri dengan saling memahami sesama pemeluk Islam,
yang kemudian sikap itu pun akan tertuang dalam kehidupan keberagaman agama
disekitar kita. Lebih jauh lagi, dialog agama pun dapat kita tempuh dalam
kehidupan sehari-hari.
Kita perlu ingat bahwa
Rasulullah dan umat Islam pun pada saat di Madinah dapat hidup berdampingan
dengan orang-orang Nasrani dan Yahudi tanpa harus mengakui kebenaran konsep
aqidah mereka. Persatuan, perdamaian, serta toleransi dapat tercipta dengan
dibentuknya Piagam Madinah yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya konsep
masyarakat Madani yang bernilai humanis.
Menyikapi isu
islamophobia, kiranya solusi yang paling baik adalah menanamkan terlebih dahulu
nilai-nilai ruh Islamiah secara sempurna dalam diri kita sendiri yang
selanjutnya kita aplikasikan dalam kehidupan kita. Tidak hanya itu peran dakwah
pun sangat diperlukan. Namun, mendakwahkan Islam yang sudah tercoreng citranya
tidak semudah dengan mendakwahkan Islam di masa golden age dulu. Oleh karena itu, kemampuan intelektualitas dalam
hal ilmu pengetahuan serta keagamaan sangat dibutuhkan untuk memfilter
pandangan terhadap Islam baik dari dalam maupun luar Islam. Kita
juga tidak perlu membalas Islamofobia yang ada di Barat dengan fobia kepada
Barat.
Jika islamofobia itu adalah suatu kebencian yang
sudah mengakar di dalam hati orang-orang kafir, maka hal ini sudah masuk ke
dalam ranah wa lan tardho ‘anka al-yahud wa la an-nashoro hatta
tattabi’a millatahum. Tapi, yang
paling penting adalah semmuanya berawal dari diri kita sendiri, Don’t tell them
you are a moslem but show them you are a moslem. Wallahu’alam bis Sawa.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini. 2005. Wajah
Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani.
Adian Husaini. 2009. Virus
Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Anis Malik Thoha. 2005. Tren
Pluralilsme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif.
Aloys Budi Purnomo Pr. 2003. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Buddhy Munawar-Rachman. 2004. Islam Pluralis. Jakarta: PT RajaGrafido Persada.
Fatimatuzzuhra. Makalah
Orientalisme: Islamophobia.
Http://afrizaleladzimi.blogspot.com/2012/09/sebuah-propaganda-islam-bernama.html diakses tanggal 3/12/2012
Http://www.jurnas.com/news/41967/Syamsi_Ali:_Warga_AS_Mulai_Pahami_Islam/1/Sosial_Budaya/Religi diakses tanggal 3/12/2012
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema insani.
[1] Anis Malik Thoha, Tren Pluralilsme Agama: Tinjauan Kritis,
(Jakarta: Perspektif, 2005) h.11-15
[2] Anis Malik Thoha, Tren Pluralilsme…h. 16
[3] Aloys Budi Purnomo, Pr. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003) h. 11-13
[4]
Buddhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis,
(Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 2004) h.39
[5]
Buddhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis…
h. 20-21
[6] Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2009) h. 31-32
[7] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema insani, 2008) h. 154-156
[8] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme…h.82
[9] Dikutip dari makalah
Fatimatuzzuhra, Orientalisme: Islamofobia,
h. 1
[10] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema
Insani, 2005)
[11]http://afrizaleladzimi.blogspot.com/2012/09/sebuah-propaganda-islam-bernama.html
diakses tanggal 3/12/2012
[12]http://www.jurnas.com/news/41967/Syamsi_Ali:_Warga_AS_Mulai_Pahami_Islam/1/Sosial_Budaya/Religi
diakses tanggal 3/12/2012
siip :)
BalasHapusvisit n' JOIN my blog
http://yunitalutfiani.blogspot.com/