Perkembangan Tafsir di Aceh

SEJARAH KITAB TAFSIR TARJUMAN AL-MUSTAFID
(Karangan Syekh Abdurrauf Al-Singkili)

oleh:
Zunnayana Fairuz
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
Dosen Pembimbing: Dr. Fauzi Shaleh, Lc., M. Ag




PENDAHULUAN

A.                     Latar Belakang
Al-Quran merupakan firman Allah yang memuat segala ajaran Islam yang menjadi pegangan dan pedoman bagi umat manusia. ia mngarahkan umat manusia untuk berada pada jalur yang benar demi meraih kebahagian dalam kehidupan ruhaniyah maupun jasmaniah. Untuk menjadikan al-quran sebagai pedoman hidup maka diperlukan upaya penafsiran terus-menerus guna menggali makna-makna al-Qur’an.
Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa perkembangan penulisan kitab-kitab tafsir dan terjemahan al-Quran akhir-akhir ini berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan hadirnya kitab-kitab tafsir atau terjemahan baik yang berbahasa Indonesia, seperti Quraish Shihab dengan tafsirnya Al-Misbah, maupun yang berbahasa daerah seperti Aceh, yakni Terjemahan Bebas Bersajak Aceh, karya Teungku Mahjiddin Yusuf, dan lain-lain. Bahkan kegiatan penerjemahan tafsir-tafsir yang berbahasa Arab, seperti Jalalayn, Ibnu Katsir, Fii Zhilalil Qur’an dan semisalnya pun semakin banyak.
Sebenarnnya dibalik perkembangan tafsir atau terjemah al-Quran di Indonesia, ternyata pada Abad ke 17 M telah lahir satu kitab tafsir fenomenal yaitu Tarjuman al-Mustafid karya salah satu ulama besar Aceh, yakni Syaikh Abdurrauf as-Singkili. Menarik untuk dibahas, karena kitab ini merupakan kitab tafsir berbahasa melayu pertama di Asia Tenggara.
Jika kita melihat sejarah perkembangan keilmuan di Aceh, maka kita akan menemukan bahwa perkembangan tafsir ataupun hadits agaknya tidak terlalu menonjol bila dibandingkan dengan ilmu tasawuf yang memiliki pengaruh dan dominasi yang sangat besar di Aceh. Maka, adanya Tarjuman al-Mustafid telah memberikan sumbangan besar bagi pengejaran al-Quran pada saat itu. Tak hanya itu kedudukan Syekh Abdurrauf sebagai ulama pertama yang berani memikul tugas berat untuk menafsirkan al-Quran pun sangat dihargai. Hal ini pulalah yang mendorong pemakalah untuk membahas bagaimana sejarah lahirnya kitab Tarjuman al-Mustafid karya ulama besar Aceh, Syekh Abdurrauf Al-Singkili, dalam makalah sederhana ini.

B.                     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirangkum beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1.             Apakah latar belakang penulisan kitab tafsir Turjamun Al-Mustafid?
2.             Bagaimanakah metode penyajian tafsir kitab Turjamun Al-Mustafid?
3.             Apa sajakah kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam kitab tafsir Turjamun Al-Mustafid?
4.             Apa kontribusi yang telah diberikan dengan kehadiran kitab tafsir Turjamun Al-Mustafid?


PEMBAHASAN

A.                     Latar Belakang Munculnya Kitab Turjamun Al-Mustafid
Sejak masuknya Islam pertama sekali ke Aceh pada tahun 1290 M, proses pembelajaran dan pengajaran Islam mulai tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Saat itu, banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudog, dan lainnya. Hingga awal abad ke-17 M di masa Iskandar Muda mahkota alam sultan Aceh, surau-surau di Aceh mengalami kemajuan.
Berdasarkan analisis Mahmud Yunus pengajian al-Quran di Indonesia pada saat itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan pada anak-anak didik, sebelum diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh). Setelah menamatkan dalam pengajian al-Qur’an, para murid melanjutkannya ke pengajian kitab dari berbagai disiplin keislaman. Dalam pengajian kitab inilah, al-Quran diperkenalkan secara lebih mendalam melalui kajian kitab tafsir al-Quran.[1]
Sebelum abad ke-20, sulit sekali dijumpai kitab-kitab tafsir yang berbahasa Indonesia, apalagi yang berbahasa daerah. Karena kebanyakan kitab tafsir ditulis dalam bahasa Arab.[2] Tetapi, sebenarnya pada abad ke-16 di nusantara telah muncul proses penulisan tafsir al-Quran. Fakta yang menyebutkan bahwa ditemukannya naskah tafsir surah al-Kahfi (18): 9 yang tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskrip ini telah dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus pada awal abad ke-17 M. sekarang mauskrip tersebut menjadi koleksi Cambrige University Library dengan catalog MS Li 6.45. Diduga manuskrip ini ditulis oleh Hamzah Fansuri ataupun Syamsuddin al-Sumatrani yang menafsirkan ayat-ayat Quran secara mistik.[3]
Baru satu abad kemudian, sekitar abad ke-17 lahirlah satu kitab tafsir quran bahasa melayu yang ditulis oleh ulama besar Aceh, Syekh Abdurrauf as-Singkili dengan judul Tarjuman al-Mustafid. Tafsir ini merupakan tafsir lengkap 30 juz pertama di Nusantara.[4] Tahap penulisan karaya ini tidak bisa diketahui dengan pasti. Peter Riddle mengambil kesimpulan tentatif bahwa karya ini ditulis pada tahun 1675 M.[5] Meskipun as-Singkii tidak menyebutkan tahun penyelesaian kitabnya, namun, sebagai kitab tafsir paling awal, tidak mengherankan kalau beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan cetakannya telah diterbitkan di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah.[6] Hal ini mencerminkan bahwa Tarjuman al-Mustafid adalah karya yang bermutu tinggi yang ditulis oleh intelektual yang sangat tinggi juga, yaitu Syekh Abdurrauf Al-Singkili.
Salah satu potret kehidupan pada masa kepemimpinan para sultanah dimana Al-Singkili mengabdikan karirnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Pada masa ini Abdurrauf banyak melahirkan karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu, baik itu atas perintah sultanah maupun tidak.[7] Masalahnya apakah kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid itu disusun atas usulan sultanah ataupun inisiatif Abdurrauf sendiri?
Jika melihat sejarah penulisan kitab Mir’at al-Tullab, maka dapat diketahui bahwa kitab tersebut memang ditulis atas permintaan Sultanah Taj al-‘Alam Safiatuddin Riayat Syah. Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan hukum Islam (syari’at) dan telah menjadi rujukan para qadhi atau hakim di wilayah kesultanan Aceh.[8]
Berbeda dengan Mir’at al-Tullab, kitab tafsir ini tidak ditemukan pendahuluan ataupun keterangan lain yang dapat dijadikan sumber informasi. Namun, pemakalah berasumsi bahwa kitab tafsir karangan Syekh Abdurrauf ini memang ditulis berdasarkan inisiatif beliau sendiri, yaitu untuk mengajarkan ilmu keislaman, terutama al-Quran kepada masyarakat. Mengingat pula bahwa perkembangan keilmuan Islam di Aceh pada saat itu berkembang pesat. Di tambah lagi posisi Syekh Abdurrauf sebagai ulama sekaligus penulis yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karyanya.

B.                     Metode Penyajian Tafsir Kitab Tarjuman Al-Mustafid

Metode penulisan terjemah atau tafsir dalam kitab Tarjuman al-Mustafid adalah setiap teks qurannya ditulis satu-persatu dari kanan ke kiri dengan memakai tulisan Jawi (Arab Pegon). Kemudian diteruskan dengan menerjemahkan ayat al-Quran disertai penafsiran ayat tersebut. Di antara teks quran dan penafsirannya disisipkan kode berupa القصة dan فا ىدة yang ditulis dalam kurung.[9] Kata القصة berfungsi untuk mengurai asbabun nuzul suatu ayat. Sedangkan kata فا ىدة berfungsi untuk menguraikan perbedaan qiraat ataupun penjelasan tambahan lainnya mengenai cerita yang dijelaskan dalam ayat.[10]
Sebelum memasuki ayat dan terjemahannya, Syekh Abdurrauf terlebih dahulu memberi penjelasan mengenai surat yang akan dibahas. Keterangan awal ini mencakup jumlah ayat, Makki atau Madani dan keutamaan surat tersebut.[11] Contohnya seperti penggalan kalimat berikut yang ditulis oleh Syekh Abdurrauf:
Ini surat al-Fatihah yaitu tujuh ayat yang dibangsakan ia kepada Mekkah yakni yang turun di Mekkah. Maka tersebut didalam Al-Baidhawi bahwa fatihah itu penawar bagi tiap-tiap penyakit dan tersebut di dalam Manafi’ Al-Quran barang siapa membaca dia adaalh baginya daripada pahalanya yang tiada dapat menggadai dia kitab dan memberi manfaat akan berbanyak-banyak orang dan perkasih.[12]
Adapun persoalan sumber rujukan utama penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam kitab tersebut telah terjadi perbedaan pendapat antar para tokoh. Snouck Hurgronje dan muridnya Rinkes menduga Tafsir ini semata-mata sebagai terjemahan bahasa Melayu karya al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil. Namun, belakangan Voorhove, sarjana Belanda yang lain berpendapat bahwa Tarjuman al-Mustafid mengambil sumbernya juga dari berbagai karya tafsir bahasa Arab. Baru kemudian Riddell dan Harun, dalam telaahan mereka, membuktikan secara meyakinkan bahwa karya itu merupakan terjemahan dari Tafsir Jalalayn. Hanya pada bagian-bagian tertentu saja, Abdurrauf memanfaatkan tafsir Al-Baydhawi dan Al-Khazin.[13]
Az-Zumardi Azra menyebutkan bahwa tafsir Jalalain jelas menjadi sumber rujukan yang utama dikarenakan Abdurrauf memiliki isnad-isnad yang menghubungkannya dengan Jalal Al-Din Al-Suyuthi baik melalui Al-Qusyasyi maupun Al-Kurani. Lebih jauh lagi, menurut Johns seperti yang dikutip oleh Az-Zumardi bahwa meskipun tafsir Jalalayn sering dianggap hanya sedikit memberikan sumbangan dalam perkembangan tradisi tafsir al-Quran, namun ia merupakan tafsir al-Quran pendahuluan yang sangat bagus, jelas, dan ringkas untuk orang-orang yang baru mempelajari tafsir di kalangan Muslim Melayu-Indonesia.[14]

C.                     Kelebihan dan Kekurangan dari Kitab Tarjuman Al-Mustafid
Setiap hasil karya manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu pula yang terjadi pada karya Abdurrauf yakni, kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid. Kelebihan yang dimiliki oleh kitab tafsir ini terletak pada penggunaan metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat qurannya. Bagi masyarakat Melayu-Indonesia yang baru mengenal tafsir al-Quran, maka metode ini sangat praktis, ringkas dan mudah untuk dipahami.
Namun, kekurangan dari metode ijmali ini, menurut Nasruddin Baidan ialah tidaka adanya ruang memadai bagi mufassir untuk mengemukkan analisisnya tentang suatu ayat.[15]  Hal ini pula yang dialami oleh Abdurrauf yang kurang mengandalkan dan mengembangkan analisis terhadap suatu masalah. Ketika menjelaskan masalah, Syekh Abdurrauf pada umumnya lebih memilih untuk mengutip pendapat dari kitab tafsir Baidhawi, tafsir Khazin, dan tafsir Tsa’labi.[16]
Kekurangan lainnya adalah terletak pada penggunaan bahasa Jawi dalam tafsir ini yang bagi masyarakat yang bahasa daerahnya non-Melayu-Jawi, bahasa dan aksara ini hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu saja, misalnya kalangan terpelajar, pemerintahan, dan pedagang. Di luar dari kelompok–kelompok di atas, bahasa daerah masing-masinglah yang dominan.[17]

D.                     Kontribusi Kitab Tarjuman Al-Mustafid bagi Umat Islam
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa peranan kitab Tarjuman al-Mustafid dalam perkembangan tafsir al-Quran terutama di nusantara sangat besar. Fakta sejarah membuktikan bahwa selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid merupakan satu-satunya terjemahan lengkap al-Quran di tanah Melayu; baru tiga puluh tahun terakhir muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu Indonesia. Sumbangan Tarjuman al-Mustafid bagi nusantara adalah sebagai perintis dan peletak dasar-dasar penafsiran dan penerjemahan yang mendorong telaah lebih mendalam akan karya-karya tafsir yang berbahas Arab.
Menurut pemakalah, inisiatif Syekh Abdurrauf untuk menulis Tarjuman al-Mustafid ini sangat bermanfaat sekali bagi rakyat Aceh dalam proses memahami kandungan al-Quran. Karena pada mulanya al-Quran itu hanya dianggap sebagai bacaan atau hafalan yang mengandung ibadah. Padahal al-Quran itu tidak hanya dibaca atau dihafal tetapi juga dipahami setiap maksud-maksud Allah yang terkandung di dalamnya. Terlepas dari kekurangannya, kehadiran kitab tafsir ini juga memberikan inspirasi bagi lahirnya para mufassir di tanah melayu pada abad ke-20, seperti Hamka dengan tafsirnya al-Azhar, Hasbi as-Shiddieqy dengan tafsirnya al-Bayan dan an-Nur dan lain-lain.


PENUTUP

A.                     Kesimpulan
Perkembangan kajian tafsir di Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh jasa Syekh Abdurrauf Al-Singkili yang merupakan ulama besar Aceh yang sangat produktif dalam menulis di zaman para sultanah Aceh.  Salah satu karyanya adalah kitab Tafsir lengkap 30 juz pertama di tanah Melayu yang berjudul Tarjuman al-Mustafid.
Kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan sumbangan karya fenomenal Syekh Abdurrauf As-Singkili dalam perkembangan keilmuan Islam di nusantara. Kehadiran Tarjuman al-Mustafid ini telah membuka wawasan masyarakat muslim pada saat itu yang baru mempelajari al-Quran pada tingkat baca-tulis dan tajwidnya saja. Dengan daya kreativitasnya yang tinggi beliau mampu menyusun kitab tafsir yang ringkas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat nusantara.
Meskipun kitab tafsir ini lahir pada abad ke-17 M, namun sampai sekarang daya tariknya tidak pernah sirna oleh waktu. Terbukti bahwa kitab tafsir ini selalu menjadi bahan penelitian yang sangat menarik untuk dikaji oleh ilmuwan muslim bahkan para orientalis.
Akhir kata sampai di sinilah pembahasan ini, pemakalah menyadari bahwa  makalah singkat ini masih jauh dari kata sempurna, meskipun begitu, pemakalah berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi untuk menggali lagi kitab-kitab para ulama sebagai bentuk pembelajaran keilmuan Islam di Aceh. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

A.Hasjmi. 1977. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdurrauf bin Ali al-Fansury al-Jawi. 1981. Al-Quran Al-Karim Tarjuman Al-Mustafid. tp: Beirut.
Az-Zumardi Azra. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Mizan.
Gusmian. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta Selatan: TERAJU.
Muhammad Nur Lubis. 2002. Data-data Terbitan Awal Penterjemahan dan Pentafsiran Al-Qur’an di Alam Melayu. Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publisher.
Muhammad Thalal dkk., 2010. Ulama Aceh dalam melahirkan Human Resourse di Aceh, Banda Aceh: Yayasan Aceh Mandiri.
Musyrifah Sunanto. 2005. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nashruddin Baidan. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
T.H. Thalhas. 2001. Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah-surah Juz ‘Amma Paradigma Baru. Jakarta: Bale Kajian Al-Quran Pase.
Teuku Jacob dkk.. 2006.  Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press.






[1] Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga ideologi, (Jakarta Selatan: TERAJU, 2003) h. 42
[2] T.H. Thalhas, Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah-surah Juz ‘Amma Paradigma Baru, (Jakarta: Bale Kajian Al-Quran Pase, 2001) h. 2-3
[3] Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… h. 53-54
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2005) h. 290
[5] Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… h. 54
[6] Az-ZumardiAzra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Mizan, 2004 ) h. 247
[7] A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Para Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 115
[8] Teuku Jacob dkk., Aceh Kembali ke Masa Depan, (Jakarta: IKJ Press, 2006) h. 242-243
[9] Muhammad Nur Lubis, Data-data Terbitan Awal Penterjemahan dan Pentafsiran Al-Qur’an di Alam Melayu, (Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publisher, 2002) h. 19
[10] Muhammad Thalal dkk., Ulama Aceh dalam melahirkan Human Resourse di Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Aceh Mandiri, 2010) h. 184-185
[11] Muhammad Thalal dkk., Ulama Aceh dalam melahirkan Human Resourse… h. 182
[12] Abdurrauf bin Ali al-Fansury al-Jawi, Al-Quran Al-Karim Tarjuman Al-Mustafid, (tp: Beirut, 1981) h. 1
[13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam… h. 290
[14] Az-ZumardiAzra, Jaringan Ulama … h. 248-249
[15] Nashruddin Baidan, Metodoloi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka pelajar) h. 28
[16] Muhammad Thalal dkk., Ulama Aceh dalam melahirkan Human Resourse… h. 186-187
[17] Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… h. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam readers.....ini adalah blog sederhanaku. Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa berikan komentarmu untuk postinganku ya, karena apa yang aku tulis disini tidak ada yang sempurna, masih banyak kekurangnnya^^