Mutlaq dan Muqayyad


oleh:
Zunnayana Fairus
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
Dosen Pembimbing: Drs. Tarmizi Daud, M. Ag.






PEMBAHASAN

A.                 Pengantar
Al-Qur’an merupakan nash tasyri’ (hukum syara’) yang mengandung tuntutan untuk melakukan (thalab al-fi’il) dan meninggalkan (tahalab at-tark), nash umum dan khusus (al-am wa al-khas), mutlak dan terbatas (al-muthlaq wa al-muqayyad), ungkapan global (al-mujmal) yang masih membutuhkan penjabaran, serta hukum-hukum yang dihapus maupun tidak (al-nasikh wa al-makhsus). Semua ini harus  diketahui dan dipahami  agar hukum syara’ dapat disimpulkan dari al-Qur’an.
Sebagian hukum syara’ terkadang muncul dalam bentuk mutlak yang menunjukkan pada satu benda yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang muncul dalam bentuk muqayyad yang dibatasi oleh sifat atau syarat namun, hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafaz mutlak atau muqayyad merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan muthlaq Al-Qur’an wa muqayyaduhu atau kemutlakan Qur’an dan keterbatasannya.

B.                 Definisi Mutlaq dan Muqayyad
Al-Qur’an mengandung berbagai lafaz (kata) yang digunakan dalam teks hukum. Ada lafaz yang mengandung pengertian umum yaitu ‘am dan ada juga lafaz yang mengandung pengartian khusus yaitu ‘khas. Pada lafaz yang ‘khusus’ ada yang digunakan tanpa diikatkan pada kata sifat aatu kondisi apapun yaitu mutlaq, dan ada pula yang diikatkan pada kata sifat atau kondisi tertentu yaitu muqayyad.[1]  

1.         Lafaz Mutlaq
Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang luas tanpa terikat oleh batas (qayyid). Lafaz umum ini pada umumnya berbentuk lafaz nakirah dalam konteks kalimat positif. Seperti lafaz رَقَبَةٍ dalam ayat:  فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak)… (al-Mujadalah: 3). Pembebasan seorang budak pada makna ayat tersebut adalah pembebasan seorang budak yang meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.[2]
Lafaz nakirah dalam konteks positif tersebut bisa berada dalam struktur kalimat berikut:
Ø  Kalimat perintah yang menggunakan mashdar. Contoh:    فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Ø  Kalimat perintah yang menggunakan kata kerja al-amr. Contoh:  رَقَبَةِ
Ø  Kalimat berita dengan menggunakan kata kerja al-mudhari’. Contoh:[3]   رَقَبَة

2.         Lafaz Muqayyad
Adapun muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang terikat oleh batas (qayyid). Misalnya lafaz raqabah yang dibatasi dengan kata iman dalam ayat:  فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  (maka [hendaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman)… (an-Nisa’: 92).[4]  Bentuk-bentuk lafaz yang masuk kategori muqayyad sebagai berikut:
Ø  Isim al-‘Alam; bisa menjadi taqyid kemutlakan lafadz muthlaq secara kulli. Contoh:
وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ... 
Ø  Isyarah; bisa menjadi taqyid atas kemutlakan lafadz muthlaq secara kulli. Contoh:
هَٰذَا فَوْجٌ مُّقْتَحِمٌ مَّعَكُمْ ۖ لَا مَرْحَبًا بِهِمْ ۚ إِنَّهُمْ صَالُو النَّارِ

Ø  Sifat (al-washf) atau lain-lain yang sejenis menjadi taqyid atas kemutlakan lafadz muthlaq secara juz’i. Contoh:[5]
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَة

C.                 Kaidah-kaidah  Mutlaq dan Muqayyad beserta Hukumnya
Kaidah hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya. Demikian pula kaidah hukum muqayyad tetap dihukumi muqoyyad menurut qayyid yang menyertainya.[6] Namun, adakalanya hukum itu datang dengan bentuk mutlaq dalam suatu nash hukum dan datang pula dalam bentuk muqayyad dalam nash hukum lain. Dalam hal ini ada beberapa pola hubungan antara lafaz mutlaq dan muqayyad,[7] yaitu:

1.                  Sebab dan Hukumnya sama, misalnya masalah keharaman darah yang mengalir.
Firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِير...ِ
“Diharamkan atasmu memakan bangkai, darah dan daging babi…”
Kata-kata     الدَّمُ (darah) pada ayat tersebut adalah mutlaq. Selanjutnya, dalam surat al-An’am ayat 145, Allah Swt. berfirman:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِير...ٍ             
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepada ku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…”
Dalam surat ini kata ad-Damm adalah mutlaq karena diikat dengan sifat masfuh (mengalir). Tetapi, hukum kedua ayat ini sama, yaitu haram. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukum juga sama, yaitu darah. Maka, dalam kondisi ini lafaz mutlaq harus dipahami dalam bentuk lafaz muqayyad.[8]                                                            
2.                  Sebab sama namun Hukum berbeda, seperti kata ‘tangan’ dalam wudhu’ dan tayamum. Firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق...ِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…
Dalam ayat ini keharusan untuk mencuci ‘tangan sampai siku’, dalam bentuk muqayyad. Sedangkan menyapu tangan dalam tayamum tidak dibatasi mutlak, firman Allah Swt.:
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْه...ُ 
“…maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…
            Dalam hal ini ada yang berpendapat lafaz yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena hukumnya berbeda. Namun, al-Ghazali menukil dari mayoritas ulama Syafi’iyah bahwa mutlaq disini dibawa pada muqayyad, karena ‘sebab’nya sama meskipun hukumnya berbeda.[9]

3.                  Sebab berbeda tetapi hukumnya sama, misalnya firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 3:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا... 
            Lafaz raqabah yang menjelaskan kafarah zhihar ini berbentuk mutlaq. Sedang dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat 91 yang berbicara masalah sanksi terhadap pembunuhan yang tidak disengaja, lafaz raqabah muncul dengan bentuk muqayyad.
            وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَة...ٍ
            Lafaz raqabah pada ayat ini diberi qayid dengan sifat mu’minah. Dalam memahami kedua ayat ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz yang berbentuk mutlaq dipahami menurut arti muqayyad. Sedang ulama Hanafiyah berpandangan bahwa lafaz mutlaq tidak bisa dipahami dalam arti muqayyad. Lafaz mutlaq harus dipahami dalam ke-mutlaq-annya, dan lafaz muqayyad harus dipahami sesuai dengan qayid-nya.[10]

4.                  Sebab dan hukumnya berbeda, seperti kata ‘tangan’ dalam berwudhu’ dan dalam pencurian. Dalam berwudhu’, tangan dibatasi sampai siku. Sedang dalam pencurian tangan dimutlakkan, tidak dibatasi. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat: 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Dalam hal ini, ulama sepakat bahwa mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena sebab dan hukumnya berbeda. [11]

D.                 Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia yang mengandung nash-nash tasyri’ di dalamnya. Salah satu bentuk nash-nash tasyri’ adalah mutlaq dan muqayyad. Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang luas tanpa terikat oleh batas. Sedang muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang terikat oleh batas. Keduanya memiliki kaidah masing-masing. Lafaz yang mutlaq harus dipahami dalam ke-mutlaq-annya sebelum ada indikasi yang membatasinya. Begitu pula lafaz yang muqayyad harus dipahami sesuai qayid yang menyertainya. Lafaz-lafaz mutlaq dan muqayyad ini tidak hanya muncul sebagai nash-nash tasyri’ tetapi juga menunjukkan salah satu keindahan retorika bahasa Arab yang dikandung oleh Al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Abdurrahman, Hafidz. 2004. Ulumul Qur’an Praktis-Metode Memahami al-Qur’an. Bogor: Idea Pustaka Utama.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.






[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 48
[2] Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007) hal. 350-351
[3] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis-Metode Memahami al-Qur’an, (Bogor: Idea Pustaka Utama, 2004) hal. 164-165
[4] Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hal. 351
[5]Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis-Metode Memahami al-Qur’an … hal. 167-169
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh… hal. 124
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh… hal. 124-125
[9] Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hal. 352
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh… hal. 125-126
[11] Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hal. 356

1 komentar:

Salam readers.....ini adalah blog sederhanaku. Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa berikan komentarmu untuk postinganku ya, karena apa yang aku tulis disini tidak ada yang sempurna, masih banyak kekurangnnya^^