Asbabun Nuzul

PENURUNAN AYAT AL-QUR’AN LEBIH DAHULU
DARI PADA HUKUMNYA ATAU SEBALIKNYA

oleh:
Zunnayana Fairus
Jurusan: UTH - UQ / Ushuluddin
Dosen Pembimbing: Ummul Aiman, MA





PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat muslimin yang menjadi sumber pokok ajaran Islam untuk diimani dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa memperoleh kebaikan di dunia maupun di akhirat. Kalamullah yang agung ini memiliki keunikan baik dari segi bahasa, makna yang tak pernah habis digali, serta  kandungannya yang memberitahukan hal-hal yang terjadi di masa lampau, sekarang bahkan masa depan.
Secara historis, al-Qur’an bukanlah wahyu yang turun dalam ruang hampa, akan tetapi ia memiliki latar belakang tertentu yang menyebabkan ia turun ke bumi sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan umat manusia. Setiap kali terjadi peristiwa, maka firman Allah pun hadir diiringi dengan hukum mengenai peristiwa itu untuk memberikan kejelasan statusnya, petunjuk, serta meletakkan fondasi perundang-undangan bagi mereka satu demi satu sesuai kondisi dan situasi.
Dalam kajian asbabun nuzul ada satu pembahasan yang akan kami paparkan secara sederhana di makalah ini, yaitu “Penurunan Ayat Al-Qur’an lebih dahulu dari pada Hukumnya atau sebaliknya”. Pembahasan ini penting, agar kita bisa memetakan ayat yang mana saja termasuk dalam kedua proses nuzul itu serta mengetahui apa hikmah dibalik kejadian tersebut.


PEMBAHASAN

A.                 Penurunan Ayat Al-Qur’an lebih dahulu dari pada Hukumnya
Mengenai pembahasan ini, Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan seperti dikutip oleh Manna’ al-Qatthan berkata bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang turun mendahului hukumnya. Contoh yang diberikannnya dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat ini turun mengenai hukum tertentu, lalu muncul pengamalan sesudahnya. Namun, hal ini lebih menunjukkan bahwa ayat itu turun dengan lafal mujmal yang kemudian ditafsirkan, sehingga ayat tadi mengacu pada hukum yang datang kemudian.[1]
Setelah melihat penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa arti hukum di sini adalah arti hukum secara bahasa. Kata hukum merupakan bentuk masdar dari wazan حكوما - يحكم - حكم yang berarti فصل و قضى[2] (mencapai maksud atau memperoleh yang diingini dan memutuskan sesuatu). Jadi, maksud hukum dalam konteks ini adalah sesuatu yang dipahami agar dengannya dapat diputuskan status hukum atau maksudnya. Di antara contoh penurunan ayat al-Qur’an lebih dahulu dari pada hukumnya, yaitu:

1.                  Firman Allah swt.:
ôsôs% yxn=øùr& `tB 4ª1ts? ÇÊÍÈ
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)”. (Qs. al-A’laa: 14)
Ayat ini telah dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Al-Baihaqi dan lainnya telah meriwayatkan dari Ibn Umar, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan zakat ramadhan (zakat fitrah); kemudian dengan isnad  yang marfu’ al-Bazzar dan lainnya telah meriwayatkan dengan keterangan yang sama pula, dan sebagian mereka berkata: “Aku tidak mengerti maksud pentakwilan ayat tersebut, karena surat ini makkiyah, sedang di Mekkah belum ada Idul Fitri dan zakat”.[3]
Zakat fitrah baru diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah yaitu tahun di wajibkannya puasa bulan ramadhan. Hikmah zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tiada gunanya, serta untuk memberi makan orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan memint-minta pada hari raya.[4]
Pendapat yang berbeda diutarakan oleh Quraish Shihab. Tazakka dalam ayat tersebut bukanlah mengeluarkan zakat fitrah seperti yang dipahami oleh sebagian ulama. Shalat dan zakat memang sering digandengankan penyebutannya oleh al-Qur’an, tetapi setelah melihat redaksi ayat di atas yang menjelaskan cara meraih keberuntungan, maka agaknya sekedar shalat -apalagi shalat ‘Idul Fitri dan zakat fitrah- bukanlah dua hal yang cukup berat untuk memperoleh imbalan ganjaran yang demikian besar. Jadi, menurut Quraish Shihab arti tazakka dalam ayat tersebut bukanlah mengeluarkan zakat, tetapi arti tazakka secara umum yaitu menyucikan diri.[5]

2.                  Firman Allah swt.:
Iw ãNÅ¡ø%é& #x»pkÍ5 Ï$s#t7ø9$# ÇÊÈ |MRr&ur B@Ïn #x»pkÍ5 Ï$s#t7ø9$# ÇËÈ

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekkah) dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekkah ini” (QS. Al-Balad: 1-2).
Al-Baghawi berkata: Surat ini Makkiyah, namun kejelasan dihalalkannya Nabi saw. untuk tinggal di Mekkah baru terbukti pada saat terjadinya Fathu Mekkah (pembebasan kota Mekkah). Hingga Rasulullah pun berkata pada hari itu: “Hari ini telah dihalalkan bagiku kota Mekkah, pada waktu siang hari”.[6]
Kata balad di sini menunjukkan maksud yakni, kota Mekkah dan yang menjadi lafal mujmal dari ayat di atas adalah kata hill. Quraish Shihab mengemukakan tiga pendapat yang berbeda mengenai kata hill yakni:
·                    Pendapat pertama, kata hill di sini berarti halal. Maksudnya, penduduk kota Mekkah telah menghalalkan atau membolehkan untuk menganiaya Rasullullah. Mereka telah melecehkan kehormatan beliau dan tidak lagi menghormati kota ini. Meskipun begitu, kota Mekkah tetap agung di sisi Allah. Dalam ayat ini, Allah seakan-akan berfirman: “Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekkah, walaupun engkau wahai Muhammad dalam kondisi diperlakukan secara tidak wajar oleh kaum musyrikin. Perlakuan tidak wajar ini tidak mengurangi keagungan kota Mekkah di sisi-Ku”. Pendapat ini menekankan tentang agungnya kota Mekkah di sisi Allah swt.  
·                    Pendapat kedua, kata hill disini juga dipahami dalam arti halal. Tetapi, maksud kehalalan atau kebolehannya di sini hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad bukan kepada kaum musyrikin sebagaimana pendapat pertama. Allah seakan-akan berfirman: “Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekkah yang akan halal -hai Muhammad- untuk melakukan apa saja yang engkau ingini”. Ayat ini turun ketika Rasul saw. masih berada di kota Mekkah dalam kondisi teraniaya, sehingga ayat-ayat di atas -menurut penganut pendapat ini- , menjanjikan bahwa suatu ketika kota Mekkah yang agung itu akan dikuasai oleh Nabi Muhammad saw.
·                    Pendapat ketiga, memahami kata hill dalam arti bertempat tinggal, sambil memahami huruf wauw yang mendahuluinya sebagai kata penghubung yang berarti dan. Sehingga menurut mereka, Allah bersumpah dengan kota Mekkah yang mulia itu dan Allah juga bersumpah dengan kehadiran Nabi Muhammad saw. di sana.[7]

3.                  Firman Allah swt:
ãPtökߎy ßìôJpgø:$# tbq9uqãƒur tç/$!$# ÇÍÎÈ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang” (QS. Al-Qamar: 45).
Ayat tersebut Makkiyah. Ketika  ayat ini turun, Umar bin Khattab mengatakan: “Aku tidak mengerti golongan mana yang akan dikalahkan itu. Akan tetapi, ketika terjadi perang Badar, aku melihat Rasulullah berkata: golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.[8]
Janji Allah tentang kekalahan kaum musyrikin Mekkah terbukti dalam peperangan Badar yang terjadi pada tahun ke-2 H. Di mana tidak kurang dari 70 tokoh kaum musyrikin yang tewas dan tiwan oleh kaum muslimin.[9]

4.                  Firman Allah swt:
ÓZã_ $¨B šÏ9$uZèd ×PrâôgtB z`ÏiB É>#tômF{$# ÇÊÊÈ
“Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan”. (Qs. Shaad: 11)
Qatadah berkata: “Allah telah berjanji kepada Nabi saw saat beliau berada di kota Mekkah bahwa Allah swt pasti akan memenangkan kaum muslimin dari pasukan besar kaum musyrikin Maka, datanglah takwilnya saat terjadi perang Badar”. (riwayat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim)[10]
Ayat di atas semakna dengan surat al-Qamar ayat 44-45: Atau apakah mereka mengatakan, “Kami adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang.” Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.[11] 
Kata ma yang disebut setelah kata jundun (pasukan) dapat dipahami untuk menggambarkan banyak dan kuatnya pasukan itu atau dapat berarti pula sedikit dan hina. Apapun makna yang dimaksud tujuannya adalah untuk meremehkan mereka. Yakni, betapa pun besarnya pasukan, mereka pasti kalah atau pasukan itu sebenarnya kecil, hina tidak berarti apa-apa dan semua akan kalah.
Kata hunalika menunjukkan satu tempat tertentu. Sementara para ulama menunjuk perang Badar dan kekalahan total yang dialami kaum musyrikin di sana. Ada juga yang menunjuk peperangan al-Ahzab/Khandaq yang terjadi pada tahun 5 H dan ada lagi yang memahaminya mengisyaratkan keberhasilan Rasul memaksa kaum musyrikin Mekkah menyerah dalam Fath Mekkah.
Penggunaan kata hunalika yang menunjuk tempat yang jauh dijadikan oleh Ibn Asyur sebagai indikator tentang jauhnya tempat kekalahan itu dari lokasi kota Mekkah di mana ayat ini turun dan atas dasar itulah ulama ini lebih cenderung memahaminya sebagai isyarat perang al-Ahzab di mana ketika itu digali parit mengelilingi kota Madinah untuk mencegah serangan kaum musyrikin Mekkah.[12]

5.                  Firman Allah swt.
ô`tBur ß`|¡ômr& Zwöqs% `£JÏiB !%tæyŠ n<Î) «!$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ tA$s%ur ÓÍ_¯RÎ) z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÌÌÈ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Qs. Fusshilat: 33)[13]
Ayat di atas menggambarkan orang-orang terbaik yang mengerjakan apa yang dikatakannya dengan penuh istiqamah sehingga bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain yang mengikuti jejaknya. Bahkan orang tersebut menganjurkan dan menyeru manusia untuk kembali ke jalan Allah dengan meninggalkan segala keburukan.
Aisyah ra., Ibnu ‘Umar ra., Ikrimah dan Jama’ah Shahabat berkata bahwa ayat di atas turun mengenai masalah azan. Aisyah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah seruan juru azan saat mengucapkan, “hayya ‘alas salah (marilah kita kerjakan salat),” dan sesungguhnya dia menyeru (manusia) kepada Allah. Adapun mengenai saat diturunkannya ayat ini, azan salat belum disyari’atkan sama sekali karena ayat ini Makkiyah sedang azan baru disyari’atkan di Madinah sesudah hijrah ketika kalimat-kalimat azan diperlihatkan kepada Abdullah ibnu Abdu Rabbih al-Ansari dalam mimpinya lalu ia menceritakannya kepada Rasulullah, maka Rasullullah pun memerintahkan kepadanya agar mengajarkan azan kepada Bilal ra. Karena sesungguhnya Bilal memiliki suara yang keras dan lantang.[14]
Firman Allah: da’a ila allah (yang menyeru kepada Allah) mengandung banyak macam dan peringkat. Peringkat pertama dan utama diduduki oleh Rasulullah yang memang digelari oleh Allah sebagai da’iyyan ila Allah (Qs. Al-Ahzab: 46), disusul oleh para ulama dan cendikiawan yang tulus dan mengamalkan ilmunya dan yang terjun ke masyarakat membimbing mereka. Semakin luas lapangan bimbingan semakin tinggi pula peringkat da’i, demikian juga sebaliknya sampai sementara ulama menyebut pengumandang azan pun termasuk dalam pengertian kata ini walau yang diajaknya hanya seorang.[15]

B.                 Penurunan Hukum lebih dahulu dari pada Ayat Al-Qur’annya
Di antara contoh  penurunan hukum lebih dahulu dari pada ayat al-Qur’annya ialah:

1.                  Ayat wudhu’, firman Allah swt :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah dan jika kamu sakitatau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Qs. al-Maidah: 6)
Menurut Bukhari  dalam sahihnya, syari’at wudhu’ telah diterapkan sejak Nabi saw masih berada di Mekkah (sebelum hijrah); padahal dari segi asbabun nuzulnya ayat di atas turun berhubungan dengan peristiwa hilangnya kalung Aisyah di sebuah desa menjelang masuk Madinah dalam perjalanan bersama sahabat. Sampai subuh orang tetap mencari kalung tersebut, hingga Rasulullah terbangun dan kemudian waktu subuh pun tiba. Rasulullah pun mencari air, namun tidak menemukanya, maka di saat itulah turun ayat di atas yang memerintahkan untuk berwudhu’ dan menggantinya dengan tanah bila tidak ditemukan air (bertayammum).[16] Jadi, berdasarkan ijma’ para ulama ayat tentang wudhu’ ini termasuk madaniyyah, namun berwudhu’ telah diwajibkan di Mekkah bersamaan dengan diwajibkannya shalat.
Ibnu ‘Abdil Bar berkata: Seluruh ahli sejarah perang telah bersepakat bahwa Rasulullah saw belum pernah shalat sejak diwajibkannya salat kecuali dengan berwudu’, dan tidak ada yang menolak demikian itu kecuali orang bodoh dan yang menantang. Ia menambahkan pula bahwa hikmah keterlambatan turunnya ayat wudhu’, sementara pelaksanaannya didahulukan agar diwajibkannya wudhu’ diiringi dengan turunnya ayat.[17]

2.                  Ayat shalat Jum’at, firman Allah swt :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.(Qs. Al-Jum’ah: 9)
            Ayat di atas diturunkan di Madinah (Madaniyyah), sedangkan shalat Jum’at sudah dilaksanakan Rasulullah bersama para sahabat ketika Beliau masih di Mekkah. Adapun pendapat Ibnu al-Farras bahwa shalat Jum’at belum pernah dilaksanakan di Mekkah ditentang oleh riwayat yang dikeluarkan Ibnu Majah dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik, ia berkata: “Aku adalah penuntun ayahku ketika matanya tidak bisa melihat. Akulah yang membawa dia keluar untuk salat Jum’at. Ketika ia mendengar azan, ia memintakan ampun untuk Abi Umamah (As’ad bin Zurrah), lalu aku berkata, wahai ayahku, kenapa engkau selalu mendo’akan As’ad bin Zurrah setiap mendengar azan salat jum’at ? ayahku berkata, wahai anakku, dialah orang yang pertama sekali menjadi imam kita pada salat Jum’at sebelum datangnya Rasulullah saw dari Mekkah”.[18]
Hari Jum’at dinamakan Jum’at karena berakar dari kata al-Jam’u, mengingat orang-orang muslim selalu berkumpul dalam mesjid-mesjid besar pada hari jumat. Lalu mengapa umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum’at ? boleh jadi karena  hari Jum’at adalah hari yang agung bagi kita umat Islam. Sangat banyak kandungan yang dijumpai pada hari Jum’at. Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan hari Jum’at adalah hari dimana Allah telah menyempurnakan penciptaan makhluknya. Banyak amalan dan doa kebaikan para hamba-Nya yang akan dikabulkan oleh Allah.  Pada hari Jum’at pula terjadinya kiamat. Hari Jum’at adalah hari di mana nabi Adam diciptakan dan dimasukkan dalam surga serta dikeluarkan dari surga. Hari Jum’at merupakan hari keenam dari tahun yang Allah menciptakan padanya langit dan bumi.[19]
Jelaslah bahwa ayat di atas mengajak kaum beriman untuk bersegera memenuhi panggilan Allah. Di sisi lain dapat ditambahkan pula bahwa orang-orang yahudi mengabaikan hari Sabtu yang ditetapkan Allah untuk tidak melakukan aktivitas mengail. Sikap mereka itu dikecam oleh Allah. Oleh karena itu kaum muslimin harus mengindahkan perintah Allah dengan meninggalkan aneka aktivitas -untuk beberapa saat- pada hari Jum’at karena kalau tidak mereka akan mengalami kecaman dan nasib yang sama seperti orang-orang Yahudi.[20]

3.                  Ayat zakat, firman Allah swt :
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. at-Taubah: 60)
Ayat di atas diturunkan pada tahun 9 hijriah (Madaniyyah), padahal Rasulullah telah mewajibkan pengeluaran zakat pada tahun-tahun permulaan hijriah.[21] Tepatnya, zakat sudah diwajibkan pada tahun 2 H di Madinah. Namun, mengapa al-Qur’an banyak membicarakan hal ini dalam ayat-ayat Makiyyah ? jawabannya ialah bahwa zakat yang termaktub dalam surat-surat Makiyyah tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah. Fakta menunjukkan bahwa zakat yang diwajibkan di Madinah lah yang memiliki nisab dan besar tertentu, sedangkan zakat di Mekkah tidak ditentukan batas dan besarannya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang pada orang lain.[22]

PENUTUP

A.                Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan singkat mengenai “Penurunan Ayat Al-Qur’an lebih dahulu dari pada Hukumnya”, maka kesimpulan yang dapat kami ambil bahwa maksud hukum dalam konteks ini adalah hukum dalam artian bahasa yaitu Sesuatu yang dipahami yang kemudian ditafsirkan agar dapat diputuskan maksudnya.  Senada dengan pendapat Imam Zarkasyi, kami juga memahami bahwa ayat yang turun mendahului hukumnya di sini tidak berarti turun mengenai hukum tertentu lalu muncul penerapan sesudah turunnya ayat, namun lebih menunjukkan bahwa ayat itu turun dengan lafaz yang umum yang kemudian ditafsirkan, sehingga mengarah pada hukum yang datang kemudian. Adanya lafaz mujmal dalam ayat tersebut bisa jadi karena peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat belum terjadi. Maksud dari ayatnya baru diketahui setelah beberapa waktu dari turunnya ayat tersebut. Ataupun, adanya lafaz mujmal dalam ayat tersebut mendorong kita untuk berpikir untuk menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh ayat itu.
Adapun mengenai “Penurunan Hukum lebih dahulu dari pada Ayatnya”, kesimpulan yang kami peroleh adalah turunnya ayat mengenai hukum belakangan setelah Rasululullah dan para sahabat mempraktekkan suatu perbuatan tersebut merupakan bentuk penegasan dan pembenaran Allah swt. bahwa amaliah tersebut memang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Selain itu hikmah adanya hukum lebih dahulu dari pada ayat al-Qur’an bisa memperkuat eksistensi Rasul dan hukum yang dibawanya tersebut. Sehingga akan melemahkan pendapat orang-orang yang mengingkari Rasul yang mengatakan bahwa apa yang dibawa Rasul adalah segala hal yang dibuat-buat. Karena setelah sekian lama dikerjakan baru kemudian turun ayat yang berkenaan dengan hukum tersebut. Hal ini juga meyakinkan bahwa hukum itu memang benar-benar berasal dari Allah swt. Di sini kita dapat melihat adanya kedekatan Allah dengan Rasul-Nya.
Jika kita melihat kedua proses nuzulnya ayat di atas, maka dapat kita ketahui bahwa kedua peristiwa tersebut dan bahkan semua kejadian di muka bumi ini memang terjadi atas kehendak dan kuasa Allah swt.  Kedua proses nuzul tersebut juga sekaligus menunjukkan variabilitas al-Qur’an dalam menyampaikan informasi bagi umat manusia. Tugas kita sebagai makhluk yang diberi akal adalah harus senantiasa berpikir agar mampu memahami dan menangkap hikmah dibalik hal tersebut. Sehingga hati kita pun semakin kuat dan mantap untuk terus menanam nilai-nilai ruh Islam dalam diri kita sendiri lalu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu ‘alam bis sawab.


DAFTAR PUSTAKA
Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Juz 23. terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Juz 24. terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Juz 28. terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Imam Jalaluddin Suyuthi. 2006. Samudera Ulumul Qur’an: Al-Itqan fii Ulumil Qur’an Jilid I. Terj. Farikh Marzuki dkk. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Imam Jalaluddin Suyuthi. 2008. Studi Al-Qur’an Komprehensif: Al-Itqan fii Ulumil Qur’an Jilid I. alih bahasa Tim Editor Indiva. Surakata: Indiva Pustaka.
Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i. 2003. al-Munjid al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah. Beirut: Dar al-Masyriq.
Manna’ Al-Qatthan. 2007. Studi-studi Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12. Jakarta: Lentera Hati.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13. Jakarta: Lentera Hati.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14. Jakarta: Lentera Hati.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 15. Jakarta: Lentera Hati.
Yusuf Qardhawi. 2004. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Sunnah. terj. Salman Harun dkk. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Zaini Dahlan dkk. 1991. Mukaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Veresia Yogya Grafika.



[1] Manna’ Al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007) h. 133
[2] Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernand Toffel al-Yassu’i, al-Munjid al-Wasith fi al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2003) h. 146
[3] Manna’ Al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an… h. 134
[4] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Bredasarkan Qur’an dan Sunnah,terj. Salman Harun dkk., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2004) h. 921
[5] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 15,(Jakarta: Lentera Hati, 2002) h.218-219
[6] Imam Jalaluddin Suyuthi, Samudera Ulumil Qur’an Jilid I, terj. Farikh Marzuki Ammar dkk., (Surabaya: PT Bina Ilmu) h. 200-201
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 265-266
[8] Manna’ Al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an…, h. 134
[9] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 480
[10] Imam Jalaluddin Suyuthi, Samudera Ulumil Qur’an…, h. 201
[11] Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 23, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004) h. 248

[12] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 119-120
[13] Imam Jalaluddin Suyuthi, Samudera Ulumil Qur’an…, h. 203
[14] Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 24, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004) h. 228-291
[15] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12…, h. 413
[16] Zaini Dahlan dkk., Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Veresia Yogya Grafika, 1991) h. 121
[17] Imam Jalaluddin Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif Jilid I, terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) h. 159
[18] Imam Jalaluddin Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komprehensif…, h. 159-160
[19] Abul Fida Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 28, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004) h. 264
[20] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 229
[21] Zaini Dahlan dkk., Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya…, h. 117
[22] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat…, h. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam readers.....ini adalah blog sederhanaku. Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa berikan komentarmu untuk postinganku ya, karena apa yang aku tulis disini tidak ada yang sempurna, masih banyak kekurangnnya^^